Anak-Anak Penakluk Gunung
(Foto: Dokumentasi FH)
Lon
adalah salah satu dari 10 anak di kammpung itu yang semangat menggapai mimpi.
Mimpi mereka tidak pernah pudar, walau tatapan mereka terhalang oleh gunung
raksasa itu. Gunung itu memisahkan pandangan mereka akan wajah kedua orang tua
mereka. Lon, dan anak-anak usia enam tahun di kampung itu harus berpisah dari
pelukan orang tua, demi cita-cita untuk mendapatkan pendidikan.
Mereka
adalah anak dusun, kampung mereka dikelilingi gunung yang dilindungi negera.
Poho-pohon dihutan yang dijamin keutuhannya dalam setiap paragraf undang-udang
negara menjadi saksi bisu akan pendihnya prasaan mereka, baik di kala musim
kemarahu maupun di musim hujuran.
Suara
burung-burung, angin hutang yang tidak pernah dinodai oleh karya manusia, air
alam yang belum pernah dikotor oleh aktivitas kreatif manusia menjadi hal biasa
bagi semua orang di kampung itu, dan mungkin akan menjadi hal luar biasa bagi
orang-orang yang setiap harinya hanya mendengar kelakson kendaraan, melihat
gedung bertingkat, dan menghirup udara yang dicampuri oleh hasil kreasi
manusia.
Ayunan dedaunan yang bermusikan anggin
seakan berkata “mereka bukan anak biasa, mereka bukan gerasi biasa yang
diragukan, mereka adalah kampung yang patut diperhitungkan, semangat juang
mereka adalah harta yang tersimpan oleh negeri ini”.
Ada tangis dikala pertama meninggalkan
orang tua untuk mendapat stutas siswa di sekolah dasar pada sekolah yang ada di
kampung tetangga, yang dibatasi oleh hutan dan gunung milik negara.
“Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus
sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini” Kata
Theresa sambil menghapus air mata yang terus mengalir dari mata anaknya. Lon
menganggukan kepala dan berusaha memahami setiap kalimat yang ucapkan oleh sang
ibu.
“Mama, tapi kakiku masih kecil dan belum
kuat untuk berjalan di gunung itu” Sahut anak sulung itu kepada kedua orang
tuanya dalam nada datar. “aku belum tahu masuk, belum tahu cuci pakayan, mama.
Siapa yang cuci pakianku nanti? Tanya Lon sambil memegang pakian seragama
sekolahnya. “Lon, nantikan kau tinggal di rumanya bapak Ton dan mama Lia,
mereka semua baik, mereka sudah kasih tahu
kepada kami, untuk membantumu masak dan cuci pakian” pesan sang ibunda
untuk menyakinkan anaknya.Kata sang ibunda dibenarkan oleh sang ayah dengan
annggukan kepala dan senyuman lebar sambil menepuk bahun anaknya membuat Lon
yakin akan semuanya baik-baik adanya.
***
Harinya sudah tiba, Lon dan anak-anak di
kampung itu harus meninggalkan orang tua, dan siap melintasi gunung. Ada wajah
yang tidak dapat dibohongi oleh prasaan, ada wajah yang dengan jelas
meggambarkan kesedian dengan air mata yang selalau membanjiri pipi. Tidak ada
suara, bisu sekejab, hanya air mata yang terus mengalir, saat melihat kaki
anak-anak mereka langkah dengan pasti meninggalkan kampung, melangkah dengan
kebranian melintasi gunung dan bikit-bikit kecil.
***
Lingkungan baru, wajah baru, dan
keluarga baru membuat Lon menetaskan air mata. Tidak ada kata verbal yang
diucapkan, hanya menganggukan dan menggelangkan kepala bila ada pertanyaan dari
bapak Tom dan Ibu Lia sebagai orang tua
barunnya di kampung yang dekat dengan sekolah tersebut.
“Lon, ini kamar tidurmu, sekarang kamu
boleh tidur, dan harus selalu bangun pagi” kata Ibu Lia dalam nada datar dan
halus sambil menghantarkan Lon ke tempat tidur. Lon, memandang sekilas wajah
ibu barunya sambil mengangguk.
Air mata seakan tak bisa dibendung,
perasaan tidak bisa dibohongi saat ia kembali mengingat suasana di rumahnya.
Matanya enggan terpejam, saat mengingat kembali kebiasaanya sebelum tidur yang
selalu ada tawa bersama bapa dan mama, ada aksi manja yang mencuri hati bapa
dan mama.
BACA JUGA: CERPEN: SEJAM HIDUP DI NEGERI MIMPI
Hati dan prasaanya seakan menggumpulkan
rasa nggtuk saat ia kembali mengingat pesan sang ibunda “Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus
sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini”
Pagi pertama, hari masuk sekolah sudah
tiba, ada suara asing yang muncul didepan
depan pintu kamarnya “Lon, bangun! Siap pergi sekolah! Suara ibu Lia
yang sedang berdiri di pintu kamar tidurnya. “Ya bibi” sahut Lon dalam nada
datar dan serak. “ayo, cepat, sekarang sudah jam 06.00, nanti kamu terlambat,
apalagi ini hari pertamamu masuk sekolah” kata bu Lia dalam nada menyakinkan
dan meyemangatinya. Lon, hanya bisa menganggukan kepala. “Sebelum berangkat ke
seokolah, harus sarapan” kata bu Lia yang
sudah mempersiapkan sarapan.
***
Semangat mencari mimpi, walau melintasi
bukit, walau meninggalkan orang tua dalam usia enam tahun, adalah hal yang
tidak masuk akal bagi sebagian orang yang sudah merasakan sedikit kemajuan,
seperti pelayanan pendidikan yang dekat, dengan adanya sekolah, pelayanan
kesahatan dengan adanya puskesmas, dihantar dengan motor oleh orang tua saat
pergi sekolah.
Semua kemewahan itu mustahil di alami
oleh Lon dan anak-anak yang dilahirkan di kampung yang jauh dari kata kemajuan.
Tapi mustahil juga bagi anak-anak di kampung itu untuk tidak mendapatkan
pendidikan.
Kaki kecil anak-anak di kampung ini
seakan dibentuk dan terbiasa melintasi gunung yang memisahkan dengan kampung
tetangga, tempat mereka mengais ilmu. Prasaan dan sifat kemandirian anak-anak
di kampung ini dibentuk oleh keadaan dan situasi. Tidak ada kesempatan orang
tua untuk mengajarkan mereka mandiri. Tetapi situasi dan kesempatan ada untuk mereka
belajar mandiri. Rasa pantang menyerah seakan tumbuh dalam diri mereka saat
melintasi gunung dan lembah itu.
Sehingga tidaklah heran, bila Lon dan
anak-anak dari kampung yag dikelilingi oleh gunung-gunung itu disebut anak-anak
penakluk gunung. Karena semangat mencapai mimpi, kebranian melintasi gunung,
dorongan untuk berusaha agar bisa berdiri dan duduk bersama orang lain yang
dibersarkan ditengah kemajuan, seakan ingin mengatakan “ kami memang dari
kampung, tetapi semangat dan daya juang kami bukan kampungan” (FH)
***
CERPEN:Anak-Anak Penakluk Gunung
Reviewed by www.surya.com
on
Maret 27, 2020
Rating:

Tidak ada komentar: