Revolusi Pengetahuan Yang Tercecer*
Thomas Kuhn (1922-1996) dalam The
Structure of Scientific Revolution (1962) memperkenalkan tentang
terminologi “pergeseran paradigma” dengan menekankan pada pentingnya
pembentukan peradaban masyarakat melalui suatu proses ‘pengalaman perubahan
pengetahuan’ yang radikal demi pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik.
Meskipun terminologi ini kental di dunia akademik, tetapi menurut saya, sangat
sinergik, relevan dan implikatif bagi masyarakat yang sedang memiliki
‘kewajiban alamiah’ untuk migrasi dari peradaban pramodern ke modern dan
selanjutnya ke postmodern. Menurut Kuhn proses ‘pengalaman perubahan
pengetahuan’ yang radikal ini menjadi suatu keharusan dalam membentuk,
membangun dan memberdayakan kesadaran dan pengetahuan masyarakat demi
kepentingan kehidupan yang lebih beradab. Adanya kesadaran dan pengetahuan yang
saling elaboratif bisa menjadi tonggak-tonggak penting dalam menenun
jejak-jejak ‘paradigma’ peradaban ke kualitas yang lebih tinggi. Demi mendukung
terajutnya fase-fase peradaban dan menguatkan tonggak-tonggaknya, maka
prasyarat dasar adalah adanya inklusivitas, rasionalitas, kritisitas dan
kuriositas, serta manifestasi sikap-sikap ilmiah lainnya, yang pada setiap
tahapan perubahan pasti memiliki tuntutan standar kualitas yang berbeda.
Kuhn
menyebut proses perubahan ini sebagai ‘revolusi pengetahuan’, yang dapat
dipahami melalui empat struktur fase. Pertama, ‘Pra-paradigma’ sebagai
fase ilmu pengetahuan yang belum matang, di mana penelitian-penelitian keilmuan
dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Dan, muncullah berbagai macam aliran
pemikiran yang saling bersaing dan meniadakan satu sama lain dan memiliki
konsepsi dan teori yang berbeda dalam menyikapi berbagai masalah. Belum
ditemukanya suatu paradigma tunggal untuk menjadi referensi praktek keilmiahan,
membuat masyarakat terkantung-kantung dengan berbagai masalah yang tidak
terselesaikan.
Kedua,
‘Sains Normal’ sebagai fase konsensus dan komitmen bersama kaum ilmuwan untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang mendera masyarakat dengan menetapkan
standar-standar praktek keilmiahan. Mereka cukup berhasil menentukan satu
paradigma yang dijadikan sebagai rujukan pemecahan ‘teka teki
masalah’ di dalam masyarakat. Namun, karena hanya berdasarkan konsensus dan
komitmen, maka sebenarnya paradigma yang digunakan tidak cukup kuat dan kerap
muncul upaya-upaya kritis untuk mengoyahkannya dan mengganti dengan paradigma
baru.
Ketiga,
‘Anomali’ sebagai fase krisis kredibilitas terhadap ilmu pengetahuan dan
paradigma yang mendukungnya, karena tidak lagi relevan dan kompatibel untuk
mengurai persoalan yang muncul. Keadaan ini menimbulkan kekacauan, kebingungan,
dan sikap skeptik terhadap berbagai bentuk kajian ilmiah. Keadaan ini mendorong
lahirnya bermacam komunitas ilmiah dengan kelompok-kelompok ilmuwan yang saling
bersaing dalam membentuk paham/mazhab keilmuannya. Dialektika yang serius,
kritis dan rasional antara kelompok ilmuwan justru kemudian menjadi embrio bagi
munculnya paradigma baru.
Keempat,
‘Paradigma baru’ sebagai fase klimaks, di mana ilmu pengetahuan yang luar biasa
dan baru (extraordinary and novelty science) muncul sebagai hasil
kompetisi yang ketat dari para ilmuwan dalam membangun paradigma-paradigma
baru, yang kemudian bisa menjadi patokan bagi berkembangnya konsepsi dan teori
baru. Fase ini ditandai dengan semakin menguatnya sebuah aliran pemikiran yang
sahih, kompatibel dan relevan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, konsep dan
teori baru dalam membahas kebutuhan dan persoalan dalam masyarakat. Perubahan
ini menjadi puncak dari sebuah revolusi ilmu pengetahuan, di mana sebuah
paradigma baru muncul dan menjadi rujukan bagi penerapan berbagai metode,
prinsip teoritis, asumsi, kebijakan dan standar evaluasi dalam memecahkan
berbagai masalah. Melalui proses edukasi dan internalisasi, paradigma baru ini
kemudian berperan dalam merubah cara pandang dunia, pola pikir dan pola laku,
baik dari para ilmuwan dalam aktivitas keilmiahannya maupun dari masyarakat
dalam seluruh prosesi kehidupannya.
***
Indonesia
sudah dan akan bergerak dalam lintasan revolusi pengetahuan ini. Sebagai
bangsa yang memiliki modal besar dari segi sumber daya manusia dan alamnya,
momentum revolusi pengetahuan dalam segala bentuk penampakan dan modelnya mesti
direspon dan diberdayakan secara optimal. Bila tidak, kita akan tetap tercecer
pada stagnasi kelamaan peradabaan, yang menyebabkan tersendatnya pembanguan
bangsa di segala bidang. Pendapat saya, ada tiga hal yang menjadi tantangan
besar bagi bangsa Indonesia dalam merespon dan memberdayakan revolusi
pengetahuan ini. Pertama, sikap dan berpikir yang masih ekslusivistik, fundamentalistik
dan radikalistik sering menjadi resistensi ketika mau bergerak pada paradigma
yang lebih tinggi. Sikap dan pikiran ini sangat berpengaruh pada rendahnya
indeks responsivitas dan aksesibilitas akan perubahan dan perkembangan.
Karenanya, agar bisa bergerak dari ‘praparadigma’ ke ‘paradigma baru’
diperlukan proses dialektis yang lama, di mana masyarakat mesti berada dalam
kondisi terbuka, rasional dan kritis. Slogan “Indonesia Hebat, Bergerak
dan Bersaing”, “Indonesia Kuasa Kawasan”, “Indonesia Go Internasional”, dan
“Think and Act Globally”, sudah pasti menuntut inklusivitas, rasionalitas dan
krisitas masyarakat terhadap perubahan dan perkembangan, sehingga
benar-benar mendapat ruang dan tempat untuk menegaskan eksistensi di
dunia.
Kedua,
klaim-klaim pengetahuan berbasis pendapat, opini dan pemikiran non ilmiah yang
mewakili pribadi dan golongan tertentu begitu mengetengah dewasa ini.
Ketika pendapat, opini dan pemikiran non ilmiah itu sering kali tidak melalui
kajian, riset dan metode keilmiahan yang valid dan adequate, maka akan berujung
pada keadaan anomali dan kekacauan referensi dalam masyarakat. Masyarakat
digiring pada sikap ambigu, impulsif dan skeptik saat mau menyelesaikan masalah
hidupnya. Ironisnya, ketika tingkat kecerdasan dan keterdidikan masyarakat
belum memenuhi standar, maka yang kerap terjadi adalah keterjebakan pada
keterarahan primordial, fasistik fatalistic, utopis, dll. Konsideransi
keilmiahan yang seharusnya menjadi ‘optio fundamentalis’ dalam konstruksi
kehidupan masyarakat modern, disubordinasi dan digagalkan oleh otoritas non
ilmiah, yang entah karena factor lain, justru lebih mendapat tempatnya di hati
dan pikiran masyarakat. Karenanya, jangan heran bila pada kondisi tertentu,
sebagian masyarakat Indonesia lebih memilih mengikuti kewenangan non ilmiah
tersebut dalam memecahkan persoalan hidupnya. Hal ini tentu menjadi penghambat
karena standar-standar pembangunan berikut pemecahan berbagai persoalannya,
sudah pasti berbasis kajian dan riset yang mendalam dengan menggunakan
pendekatan dan metode keilmuan yang terukur. Faktanya, bangsa-bangsa yang
akseleratif, inovatif dan sejahtera pembangunannya, justru karena konsisten
merujuk pada riset dan kajian ilmiah yang sudah terstandar.
Ketiga,
peran para kaum intelektual (ilmuwan) belum optimal dalam konstelasi
revolusi pengetahuan pada masyarakat Indonesia. Ada dua hal yang
menyebabkannya: (1) Kaum intelektual belum diberi cukup ruang untuk berperan
oleh negara dan masyarakat. Bila rejim pemerintah (pusat dan daerah) tersegmentasi
pada kepentingan ideologinya dengan hanya memanfaatkan tenaga dari intelektual
tertentu yang ‘senafas’, maka yang berbeda nafas akan ‘ditelantarkan’ kemampuan
dan kepakarannya. Padahal, bila pemerintah melibatkan sebanyak-banyaknya pakar
akan terjadi kompetisi pemikiran dan kajian yang dialektis, kritis,
paradigmatik, dan noveltik sehingga berkontribusi bagi penguatan pembangunan
bangsa yang lebih integrative, komprehensif dan holistik. (2) Pada sisi lain,
sebagian intelektual kerap terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat
dalam bidang social, politik, agama dan ekonomi. Mereka diduga menggadaikan
kredibilitas dan kapabilitas keilmuannya untuk dihambakan pada keperluan
afirmasi diri, kelompok dan golongannya. Pada kondisi yang paling miris, ada kaum
intelektual yang menggunakan otoritas keilmuan untuk menciptakan inovasi pada
bidang tertentu yang bahkan bertujuan merusakan kehidupan manusia dan
lingkungan hidup. Selain itu, tanpa ‘rasa salah intelektual’, mereka
‘menggoreng’ kapasitas dan pendapat pribadinya untuk mengagitasi dan
memprovokasi kesadaran dan emosi masyarakat agar melakukan hal-hal
negative-destruktif, yang secara kasat mata telah melanggar norma/nilai
universal dan nasional, serta mengancam stabilitas kehidupan berbangsa.
Beberapa keresahan social yang berskala nasional maupun local, ternyata
merupakan hasil eskploitasi dan kapitalisasi ketidaktahuan masyarakat oleh kaum
intelektual tertentu demi kepentingan pragmatis dan sektariannya.
*)Tulisan ini
Sudah dipublikasikan di: SKH Pos Kupang, 15 Februari 2017. Dipublikasikan di sini atas ijinan penulis.
Catatan: Opini ini adalah tulisan pribadi penulis, isinya tidak mewakili pandangan mediafelikspedia.com
Catatan: Opini ini adalah tulisan pribadi penulis, isinya tidak mewakili pandangan mediafelikspedia.com
OPINI: Revolusi Pengetahuan Yang Tercecer
Reviewed by www.surya.com
on
Maret 22, 2020
Rating:

Tidak ada komentar: