SEJAM HIDUP DI NEGERI MIMPI
ILUSTRASI (https://www.dakwatuna.com)
“Megapa mobil ini jalannya kayak ada naik turunnya?
Dari tadi juga aku rasakan kadang-kadang laju dengan kencang, kadang juga
jalanya lambat”. Tanya Arfan kepada sahabatnya yang sebangku dalam Bus
tersebut.
“Ah, kamu. Kayak
tidak tahu saja. Mentang-mentang hidup empat tahun di rantauan, lupa dengan
keadaan daerah sendiri”. Jawab Arfan sedikit sinis bercampur senyum.
“Bukan begitu Sam, dulu waktu saya melintasi jalan ini
masih sangat bagus, bahkan waktu itu saya melihat hiruk pikuk para pekerja
sedang memperbaiki jalan ini. Yah saya pikir setidaknya sudah ada perubahan
yang luar biasa. Padahal jalan ditempat. Sambung pria yang baru saja
menyelesaikan studinya di tanah Jawa itu.
“Itu dia persoalannya Fan (pangilan akrab Arfan),
setiap tahun memang selalu ada perbaikan. Tapi asal-asalan, bahkan ini masih
mendingan, ada jalan yang baru diaspal. Yah, baru enam bulan sudah rusak”. Miris bukan? Sambung Fan sambil menikmati
alam di sepajang perjalanan itu.
“Ah, yang benar
saja Fan”. Sambung Sam, sedikit kurang percaya
“Ah, kamu sih.
Pura-pura tidak tahu kebiasan buruk di wilayah kita”. Sela Fan sambil
menghembus napas panjang.
Di wilayah kita kan,
kualitas itu soal kedua, yang penting kuantitas pembangunan setiap tahun. Bukan
soal sedikitnya anggaran, tapi sedikitnya kepala yang mampu menjauhkan diri
dari nafsu materialistik dan korupsi. Yah, tidak heran, kalua hasilnya hanya
dinikmati oleh masyarakat dalam waktu yang sangat singkat. Kita juga tidak tahu
siapa biang kaladi dari semua ini. Toh, kalau memang kontraktor yang bersalah,
harusnya jangan diperjayakan lagi untuk menangani berbagai proyek; dan kalau
pemerintah yang melakukan penyelewengan, harus ditindak berdasarkan aturan yang
berlaku. Ditindak tegas. Atau bagaimana Sam?
“Yah, aku setuju Fan,
seharusnya begitu, supaya virus-virus itu tidak selalu meraja lela disepanjang
masa”. Jawab Sam sambil memperhatikan Bak yang kosong di berapa kampung yang
dilintasi oleh Bus yang berase tersebut.
***
“Sam, dari tadi mulai dari
kampung sebelah itu saya perhatikan ada bak. Saya yakin itu bak penampung air,
karena ada pipa dan krannya. Tapi yang mengganggu pikiran saya adalah
disekeliling Bak itu tumbuh remang-remang yang tak ada dalam kamus Biologiku.
Bisa jadi itu menjadi hutan mini nanti”. Lalu, apakah masyarakat di sini merasa
nyaman saat ingin menimba air dengan melintasi remang-remang tajam itu? Apalagi
saya lihat diantara remang-remeng itu daun putri malu.
“Itu dia Fan, bagaimana
orang mau bersih, itukan bak kosong”. “Ngapain” sambung sam sambil menikmati
air aqua yang ditenteng di tangannya.
“Yang benar saja Sam” Tanya
Sam sedikit kurang percaya.
“Weleh, apakah kamu buta Sam, Sudah jelas-jelas krannya karat,
disekelling Bak itu remang-remang berlomba untuk bertumbuh, catnya sudah mulai
hilang, kotoran hewan berserakan di sekelingnya. Itu artinya semua Bak itu
tidak dapat digunakan sebagaima mestinya”
Sam, menganggut sambil
berkata, “Lu benar juga Fan”.
“Tapi anehnya Sam, sampai
saat ini tidak ada tindakan dari pihak yang bertanggungjawab untuk mengatasi
persoalan tersebut. Saya juga tidak tahu, apakah mereka sudah melihat persoalan
ini, atau mereka memang melihat tapi pura-pura tidak melihat, usulan memang didengar,
tapi pura-pura tuli, mengetahui, tapi pura-pura tidak mengenal dengan
pemabangunan itu”.
Sambil menikmati pisang yang
dibeli dalam perjalanan itu, Sam menganggukan kepala, sambil menyambung
kata-kata pria yang baru menyelesaikan studi serata satu disalah satu kampus di
daerahnya. “aku suka dengan kalimatmu Fan”.
“Kalau terus seperti itu, lalu kepada siapa kita mengadu, Kepada siapa kita bersuara untuk menyampaikan keluh kesah kita, kepada
siapa kita
berteduh untuk sedikit
menyejukan hati dari peliknya persoalan ini. Bila semuanya hanya pandai dalam bersandiwara, “ya” dalam kata,
pangku tangan dalam aksi. Yah, seadainya aku tidak lahir, aku tidak merasakan
pedihnya kehidupan di negeri ini”.
“Tentu ini juga bukan salah
ibuku, yang setia dan tulus melahirkanku di bumi ini. Kalau seadainya, sebelum
lahir ada semacam survey tentang bagaima
keadaan dunia ini, setelah itu ada semacam tawaran untuk mengambil keputusan,
tentang apakah anda siap menghadapi segala kondisi yang ada. Pasti aku tidak
sudi datang didunia ini. Aku katakan kepada ibuku”, “Ma, aku tidak sanggup menghadapi situasi dunia seperti ini”.
Mendengar kalimat itu, semua
penumpang dalam mobil itu tertatawa terbahak-bahak, termasuk Sensi, sahabat
setia Sam yang duduk dibelakang Arfan dan Sam, mereka merasa ada yang lucu dan
aneh dari kalimat yang diucapkan oleh pemuda berambut lurus itu. Melihat dan mendangar respon para penumpang
di Mobil itu, pria pipi lesung yang baru saja lulus kuliah itu senyum tersipu
malu. “Mimpi buruk apa saya tadi malam,
sehingga semua orang menertawakan saya”. Sam mengamuk dalam hatinya.
“Benar juga, apa yang mereka
diskusikan, apa lagi kalimat terakhir yang diucapkan oleh sarjana baru ini”.
Kata Sensi dalam hatinya, sambil mengingatkan kembali kalimat yang diucapkan
oleh teman barunya “ya, kalau seadainya
survey itu ada, dan hasilnya menjadi pertimbangan seseorang untuk lahir. Pasti
banyak yang enggan untuk hadir di dunia ini. Kecuali kalau hanya menampilkan
hal-hal yang muluk-muluk saja, tanpa menanyakan, setiap orang pasti mempunyai
keinginan untuk hadir di dunia”
Tapi syukur hal itu tidak
terjadi. Tidak akan terjadi. Sebab kehidupan adalah anugrah, hal itu dimulai
sejak ibu mengandung. Disitulah kekuasaan Pemilik Kehidupan. Kenyataan ini
pulalah yang tidak membenarkan aksi pengguguran. Pengguguran sebagai tindakan
pelanggaran Hak Asasi Manusia, yah pelanggaran hak untuk hidup. Sebab sejak
manusia itu dibentuk dalam Rahim, dia sudah memiliki kehidupan. Renung Sensi
sembari membenarkan diri sendiri.
Tertawa para penumpang itu,
menjadi titik akhir diskusi dua pria yang sejoli tersebut, dan saatnya mereka
sibuk dengan pikiran maisng-masing. Ada yang asyik memandang pemandangan di
sepanjang jalan dari balik jendala mobil itu sambil menghayal, ada yang
memanadang gorden yang menutupi jendela mobil itu.
***
“Entahlah, apa yang telah membawaku ke alam ini. Alam
pikiranku sendiri”. Guman Arfan sambil menatap keindahan alam di sepajang jalan
itu.
“Terhanyut
dalam dunia yang tanpa batas, mata dipejamkan oleh indahnya alam disepajang
jalan itu, hembusan angin membawanya pada negeri yang tak ia jumpai sebelumnya.
Negeri, yang membuat orang selalu tersenyum. Negeri yang solid dan selalu ramah. Negeri yang para
pemimpinya bagai corong yang selalu mengalirkan kedehuan. Negeri yang berani
melawan penindasan, dan negeri yang para pemimpinya berkomitmen
mengahadirkan cinta kepada
rakyatnya dengan adil. Dan di negeri ini
hatiku bagai tersiram air alam yang amat sejuk, di sini pula aku melihat orang-orang
kecil tersenyum bahagia menikmati kemajuan dan pembangunan yang tanpa syarat.
Mereka bangga akan fungsi
pemimpin mereka, mereka bahagia akan
seluruh yang ada, yang telah
dihadirkan oleh para pemimpin mereka. Di negeri ini aku tenang, karena
orang-orangnya saling menghargai kemajemukan, mereka berpegang teguh pada dasar
negara mereka.
Namun
aku binggun, ini negara apa yah? Ibu kotanya di mana? Dalam kebingungan itu, ia
dijumpai oleh seseorang.
“Selamat siang mas”. Sapa orang itu dengan wajah yang
bersahabat.
“Selamat siang juga, mba. Oh, ya”. Kita belum kenalan,
nama saya Arfan,. Kalau situ siapa yah. Tanya pendatang baru itu, sembari
berharap ada teman baru di negeri ini.
“Oh, ya. Namaku Cantik, aku warga asli di Ngeri ini”.
Jawab gadis itu dengan tatapan yang yang seribu arti.
Waoh. “Namanya Cantik, Sesuai dengan oranya”. Gadis itu
membalasnya dengan senyu khasnya.
Tik, (itulah
panggilan kesanyangan gadis berambut lurus itu), boleh aku tanya sesuatu
nggak?
Hem, yah, yang penting jangan tanya yang nggak-nggak lho.
Sambung gadis berbodi atletis itu sembari mempersembahkan senyum khas pipi
lesungnya.
Yah, nggaklah, Tik. Dari tadi aku binggun, apa nama
negeri ini? Di mana ibu kotanya? Tanya peria itu sedikit gemetar melihat wajah
gadis yang menawan dan amat sopan dan ramah itu.
“Oh, itu yah, pertanyaannya”. “Sebelum saya jawab, yuk
kita mampir dikantin itu (sambil menunjuk ke arah Kantin yang tidak jauh dari
Halte di Pinggir jalan tersebut), ngobrol sambil ngopi kan enak toh? Maaf Tik,
aku, tidak enak jadinya. Jawab pria yang sedikit gugup itu dengan nada yang
berbelit. Yah, sudulah, jangan terlalu dipikirin, biarkan kantin ini menjadi
kantin pertamamu di kotaku (sembil berjalan menuju kantin)”. Arfan mengangguk
sambil menyebunyikan persaan malu yang selalu bersamanya.
Mbak, kopi dua yah! Satu gelasya kopi pahit, ya. Pinta Tik dalam nada
yang mengesankan mereka sudah akrab. Siap bos. Jawab pelayan kantin itu semabri
mengabil gelas.
Selang beberapa menit kemudian, kopipun telah
disediakan di meja mereka. Seperti biasa, Kalau minum kopi, pasti ditemani
dengan sebatang rokok, bahkan lebih. Itulah kebiasaan pria yang suka memabaca
novel tulisan Tere life.
“Baik Fan, ayo minum kopinya. Ajak Tik, sambil
mengangkat gelas kopinya”. “Oh, ya, Tik”. Jawab Fan sambil menimati segelah
kopi rasa khasnya.
“Tik, (Fan mulai
percaya diri untuk kembali bertanya setelah mengepul sebatang rokok) kopi
ini akan lebih nikmat, ketia kamu menjawab pertanyaaku tadi di Halte itu”.
Oh, ya, saya lupa. Padahal saya ada PK tadi, alias
pekerjaan kantin. Sambung gadis berambut
panjang itu sambil tertawa dalam suasana keakraban.
“Baik Fan, nama negriku adalah
Negara Brani. Nama ini dipilih dengan sejuta alasan. Pemimpin kami, brani menolak korupsi, brani
menguburkan segala mafia, brani melecehkan dan menghukum mereka yang
mengutamakan kepentingan pribadi, berani me-non
job-kan mereka yang mengatasnamkan rakyat untuk membuncik dompet pribadi, berani menghukum secara undang-undang bagi mereka
yang selalu menciptakan kegaduhan, apalagi kalua soal menggangu ketemtraman umum”.
Lajut
gadis itu
kepada Fan yang
setia mendengarnya. Ibu Kotanya
adalah Hati Nurani.
“Yah, seandainya saja
itu berlaku di nergriku, mungkin saja
kami tidak seperti ini”. Sambung Fan
sambil menikmati kopi pahitnya.
“Ah, yang benar saja”, Fan. Tanya Tik sedikit ragu. “Ah, kamu, kamu lihat
sendirikan keadaan negeriku”. Jawab Tik sambil
menikmati kopi manisnya.
“Ya, sih, memang aku suduh melihat semunya, walau aku baru
hanya sebulan tinggal di
Negerimu saat itu, dan
selama aku di negerimu saya selalu mendengar
dan membaca berita kasuh korupsi, pembangunan yang tidak maksimal. Tapi
anehnya Fan, semakin sering memberitakan kasus-kasus itu, semakin banyak juga
yang koropsi”. Jawab cantik sembari berharap ada penjelasan lebih lanjut dari Fan sebab dari semua itu. Yah,
begitulan Negeriku, Tik.
Setidaknya kamu sudah tahu, dan sudah pulang
dari sana, sehingga saya tidak perlu penejlasan panjang lebar. Jawab
Fan sambil
menghela napas panjang.
“Kamu tahu nggak Tik, di Negeri saya itu, setiap tahun memang ada program
yang mentereng, tapi hasilnya tidak sebagus apa yang diharapkan”. Sambung Fan sambil menghabiskan segelas kopi
yang sudah dingin itu. Baginya, kopi itu, semakin dingin semakin
nikamat.
“Loh, kok begitu sih Fan”. Tanya Tik dalam nada sedikit kurang
percaya. Ya, yalah Tik. Sela Fan.
Itu semua terjadi karena kerja asal-asalan saja, yang penting selasai.
Soal mutu, itu urusan kedua. Haahahh, yang benar Saja Fan. Yah, apa lagi kalau mau
pemilihan, banyak proyek dadakan. Hem,
jadi aku semakin bingun Tik,
kenapa semua itu terjadi.
Tapi kalau di Negerimu,
tolak ukur untuk membangun sesuatu apa yah, misalnya membangun jalan rasa, Air,
sekolah dan pembangunan lainya. Tanya Fan berharap ada jawaban dari Lilin.
Oh, kalau di negeriku ini pembangunan berbasis kebutuhan dan
sekala prioritas. Maksudnya, kayak gimana tuh. Tanya pria baru lulus kulia
itu dalam nada pura-pura tidak
percaya.
“Ah, jangan pura-pura tidak mengerti
lah Tik,
kan baru lulus kulia, mau uji saya yah”
Guman Tik. “Ah,
ini serius Tik,
aku nggak pahan yang gitu-gituan”.
Maksudnya, kalau mau
membuka atau meningkatkan jalur transpotasi kita harus tahu, apakah hal itu
benar-benar dibutuhkan atau dapat membatu peningkatkan ekonomi di daerah
tersebut. Begitu juga halnya dengan membangun sekolah. Selain itu, jangan
membangun sesuatu untuk membalas jasa politik, atau ingin mengambil hati rakyat
supaya memilihnya lagi saat pencalonn berikutnya. Terus tidak hanya sekedar
membangun, tetapi perhatikan juga kualitasnya. Agar masyarakat lama menikmatinya.
Selanjutnya para kontraktor yang bekerja tidak becus, jangan diberi peluang
untuk mengambil bagian lagi mengerjakan proyek.
Itulah prinsip negeriku Fan.
“Waohh, asyik juga Tik”. Aku suka Negerimu. Sambung Fan, sambil berharap negrinya seperti
iu.
Makanya Fan, kalau pilih pemipin itu pilih
yang benar-benar mampu, jangan termakan rayuan gombal Fan. Seperti dirimu yang pandai
ngegombal para ladies. (Haahah), sambung cantik sambil tertawa.
Ah, Tik. Ada-ada saja. Mana tidak jatuh
hati, program-program mereka saat
kampaye itu, Wuihhh, menggoda. Visi dan misi
mereka meluluhkan hati para rakyat, seolah-seolah ada dewa penurut saat itu.
Eh, tau-taunya itu hanya siluman. Begitu mereka menang, seolah-olah bukan mereka yang mengumbar janji saat
kampanye, meraka tersenyum di atas pendiritaan kami, tertawa di atas rintihan
harpan rakyat, merasa nyaman di atas
tangisan masyarakat yang jauh dari kata
kemajuan. Mungkin saja kami bukan teringgal, tetapi sengaja ditinggalkan dan
dilupakan. Sambung Fan sambil membakar sebatang rokok.
“Tragis amat,
Fan”. Sahut gadis itu dalam nada tanya. Makanya
Fan,
pilih pemimpin itu berdasarkan
pengalamannya. Jangan memilih berdasarkan garis keturuanan atau keluarga.
Dengan istilah krennya adalah jangan pilih pemimpin berdasarkan pertimbangan
emosional, tepi pilih pemimpin berdasarkan pertimbangan ilimiah.
Itu dia persoalann ya Tik. Sambung pria yang hobi membaca
novel cinta itu. Di Negeriku itu,
hanya sebagian orang yang memilih karena kualitas calonya, selebihnya jatuh
karena pertimbangan suku, agama, dan garis keturunan. Sehingga akibatnya, orang
hebat yang tidak memiliki keluarga dan suku yang banyak, tidak dapat memimpin,
dan orang yang tidak memilik trek recor dalam memimipin bisa menang, itu karena suku dan keluarganya segudang Tik.
“Memang Fan, itu menjadi persoalan kita saat
itu”.
Jawab Tik
sambil menggukan kepala.
Kalau negeriku Fan. “Misalnya saat Pemilihan Umum
(PEMILU) setiap orang ramai-ramai mendiskusikan mana calon pemimpin yang baik
dan tepat. Orang tidak menanyakan dia lahair dari suku mana, apa agamanya.
Tetapi orang hanya mendiskusikan seputar, bagaimana karir dia sebelumnya, apa
yang telah dia buat, apakah dia pernah terlibat dalam kasus korupsi. Hanya hal
itu saja yang didiskusikan.
Hasil serying itu menjadi pertimbangan setiap orang untuk memilih berdasarkan
hati nuriani. Bukan berdasarkan sogokan. Itulah sebabnya di sini jarang sekali ada permusuhan
atau tindakan aneh yang mengganggu ketentraman umum saat pemilihan umum.
Fan mengnganguk
sembari bertanya dalam hatinya. Kapan negeriku bisa seperti itu? “Negeri yang ilimiah, negeri yang
selalu setia memperjuangkan kebenaran, setia pada keragaman, negeri yang setiap
kepala menanamkan cinta kasih, saling menghargai dan turut serta dalam
memajukan nagara dengan rasa yang tulus. Negeri yang aman berdasarkan
pancasila, solid berdalilkan UUD 1945”. “Yah, kekacauan di negeriku, memang
tidak semata-mata salah pemimpin, tapi seharusnya pemimpin harus peka akan
semua situasi yang dapat mengacaukan negara. Pemerintah atau pemimpin harus
tegas menghukum berdasarkan Undang-Undang bagi mereka yang berusaha mengacaukan
negara, membubarkan kelompok atau organisasi yang dapat menggangu ketentraman
dan keutuhan negeriku yang tercinta ini”. Renung lelaki itu sambil memandang dan
meyaksikan suasana akrab diantara pengunjung
para pengunjung kantin itu.
Tolalet-Tolalet (bunyi
klakson mobil tersebut, sebagai alaran sebelum melewati tkungan). Aduh, saya di mana ini.
Tanya pria itu dalam hatinya dengan sedikit kaget dan tercengang sendiri.
Hadeh, klakson mobil ini rupanya
berhasil membangunkan aku dari mimpi indahku, gumannya sembari memcoba
meningatkan kembali suasana negeri dan wajah gadis cantik yang ada dalam
mimpinya.
Waduh, seandainya tadi,
tidak ada bunyi klakson itu, pasti aku lebih lama menghirup udara di negeri
yang bebas KKN, bebas korupsi, bebas pungli, bebas penindasan, dan pasti
ngobrol lebih lama dengan gadis itu. Ah, mimpi, seandainya mimpi itu
benar-benar terjadi di negeriku ini, yah pasti banyak masyarakat yang tersenyum.
Tersenyum karena disapa dengan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan, seperti
air minum bersih, jalan raya, listrik dan lain sebagianya yang dapat
membebaskan masyarakat dari multi keterbelakangan. Seandainya itu benar-benar terjadi di negeriku
ku yakin anak dan cucuku nanti akan selalu tersenyum, ah mimpi. Gumanku daalm
hati.
“Fan-Fan-Fan.itu tadi itu mimpi”. Ngamukku dalam hati sambil
meyakinkan diri sendiri. Kemabali menatap alam yang penuh warna, kuberharap
mimpi itu ada lagi. Sambil tertegun ku berkomitemen, untuk tidak hanya setia
pada mimpi, tetapi bangkit untuk terus mewujudkan mimipi-mimpi itu dalam
kenyatan. Yah, aku yakin, pasti biasa.
Krak,
(bunyi kursi itu akibat jalan berlobang) Ah, jalan berlubang lagi, menggangu
kenikmatan saja.
***
Setiap
kita termasuk saya mungkin mendambakan untuk hidup di negerinya Cantik. Tapi itu tidak mungkin dan tidaklah mudah. Namun
akan lebih mudah dan dapat hidup di negeri itu dengan sedikit-demi sedikit
merubah cara pandang kita. Ikut berjuang
mempertahankan eksistensi kita sebagai warga negara yang bernafaskan Pancasila,
berdalilkan amanat UUD 1945.
Salah satu
caranya adalah memilih
pemimpin berdasarkan reflelksi dan pertimbangan ilimiah, bukan
karena keluarga apalagi jika harga diri dipertarukan dengan uang. Kita memilih
pemimpin yang merangkum semua dan seluruh, bukan memilih kepala suku, atau kepala
keluarga. Karena itu keputusan hati berdasarkan pertimbangan ilimiah sangat
dibutuhkan. Segala kecurangan yang dapat meluluhkan hati saat pemilihan harus
dihidarkan.
Memilih
harus berdasarkan pertibangan ilimah, bukan karena rayuan. Oleh karena itu
petingalnya refleksi sebelum
tangan menembusi kertas bergambar para calon pemimpin itu. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah memimpin
diri sendiri untuk tidak terjerumus dalam falsafah yang salah. Falsafah yang
merugikan diri sendiri dan orang lain.
Harus diakui
pula segala kecurangan yang terjadi, baik korupsi, dan seluruh gejala yang
dapat merugikan dan merusakkan keutuhan dan kerukanan diantara sesama bukanlah
semata-mata salah pemimpin atau pemerintah. Namun dalam kapasitasnya sebagai
pengayom dan pelindung harus tegas dan berhati teguh melindungi masyarakatnya
dengan menindak selaras Undang-undang bagi mereka yang dengan sengaja
mengganggu keutuhan negeri ini. Berani membubarkan kelompok atau organisasi
yang segaja menciptakan gejala-gejala sosial yang menyimpang dari dasar negara. (fh)
***
CERPEN: SEJAM HIDUP DI NEGERI MIMPI
Reviewed by www.surya.com
on
Maret 27, 2020
Rating:

Tidak ada komentar: