LETANGMEDIA

Mempertimbangkan Social Critical Thinking Pada Masyarakat NTT


MEMPERTIMBANGKAN  SOCIAL CRITICAL THINKING
PADA MASYARAKAT NTT*

Oleh : Dr. Marianus Mantovanny Tapung, M.Pd
Dosen Unika Santu Paulus Ruteng


 Menurut data Bappenas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT berkutat di 68.77 (IPM Nasional, 72,77). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan, kesehatan dan ekonomi belum cukup optimal, baik dari segi sarana prasarana dan fasilitas pendukung lainnya, maupun dari sudut sumber daya manusia. Pada ranah pendidikan, masih cukup rendahnya angka partisipasi sekolah dan tingginya angka putus sekolah, yang disebabkan karena kurangnya biaya dan sarana prasarana pendidikan. Pada sisi lain, ada sekian guru yang belum berkualifikasi sesuai standar undang-undang, dan tingkat kemakmuran yang belum mendukung kinerja. Hal ini secara pasti berakibat pada pembelajaran yang tidak efektif, efisien dan berkualitas.
Yang juga tidak kalah memperihatinkan terjadi pada ranah kesehatan. Selain fakta kematian ibu dan bayi yang cukup tinggi, fakta gizi buruk juga belum lepas dari kehidupan masyarakat di Kepulauan NTT.  Sementara itu perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) belum  menyatu dengan keseharian masyarakat. Masih banyak rumah tangga yang belum memiliki kamar mandi, cuci dan kakus yang hiegienik. Selain itu, kinerja pelayanan kesehatan oleh paramedik belum cukup optimal, dikarenakan jumlah tenaga yang minim, berikut tingkat pengalaman dan kualifikasi yang belum memenuhi standar undang-undang.
            Sementara fakta pada ranah ekonomi mengguratkan bahwa masih banyak rumah tangga miskin yang belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar sandang, pangan dan papan. Data BPS per Maret 2015 menunjukkan penduduk miskin di NTT pada September 2014 berjumlah 991,88 ribu orang (19.60 %) menjadi 1.159,84 ribu orang (22,61%) pada 2015. Ada peningkatan sekitar 168 ribu orang. Tingginya peningkatan ini berlanjut pada  kondisi rendahnya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi. Minimnya biaya berdampak pada kurangnya jaminan masa depan, sebab tidak ada investasi untuk pendidikan dan masa depan keluarga. Masyarakat juga belum memiliki akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang tetap. Dampak logis dari kondisi ini adalah meningkatnya angka pengangguran, urbanisasi, TKI illegal, penjualan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, anak-anak terlantar, kriminalitas, penyakit sosial, korupsi, disparitas sosial dan sporadisasi kerusakan alam.
Menurut Kinch (1974, 13-16) dalam bukunya Social Problems in the World Todays, permasalah sosial ini secara faktual berdampak sistemik pada goyahnya tatanan kehidupan masyarakat serta memperlambat program-program pembangunan dan pengembangan  masyarakat. Menurutnya, memang tugas pemerintah memecahkan berbagai masalah sosial tersebut, tetapi yang lebih penting, masyarakat mesti memiliki kesadaran kritisnya sendiri. Kesadaran kritis ini menjadi dasar untuk berpikir, bersikap dan bertindak kritis sosial. Masyarakat harus secara mandiri bangkit dari keterpurukan dan keterbelengguan kehidupannya. Masyarakat mesti  mampu mengelola kehidupannya, sementara program-program pemerintah atau pihak lain bisa dijadikan sebagai pendukung. 

Pengembangan Konsep dan Praksis Berbasis Social Critical Thinking
Sebagai anggota masyarakat yang baik, fakta empirik nan miris di atas menjadi tanggung jawab bersama. Butuh ketekadan dan komitmen dalam memecahkannya. Jika tidak, masalah-masalah di atas akan menjadi warisan sosial yang mendera anak cucu kita selamanya. Merujuk pada pemikiran Kinch,  kegiatan edukasi, advokasi dan pencerahan yang berbasis kritis sosial untuk keluar dari berbagai situasi yang memprihatinkan perlu dikembangkan oleh semua komponen masyarakat. Pengembangan konsep dan program yang memberdayakan kemampuan berpikir, bersikap  dan bertindak kritis sosial menjadi tawaran yang strategis dan mendesak. Dengan mampu berpikir, bersikap dan bertindak kritis sosial, masyarakat diarahkan secara mandiri dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang melingkupinya.

BACA JUGA: 

Secara praktis, strategi pengembangan berpikir kritis sosial masyarakat diawali dengan pemberian segala bentuk informasi krusial dan penting berkaitan dengan masalah kehidupannya.  Informasi ini bertujuan untuk membangun kesadaran sosial (sosial awareness) tentang situasi nyata yang terjadi dalam dan sekitar hidup kesehariannya.  Kesadaran ini kemudian menjadi dasar dalam mengumpulkan, mendata, mengelompokan dan mencermati fakta-fakta sosial yang merusak dan tidak mendukung kehidupan yang layak. Kegiatan membahas dan mendalami fakta-fakta sosial ini bisa dijalankan dengan sangat informal seperti : duduk sambil minum di warung kopi, bincang-bincang waktu arisan atau kumpul keluarga, atau kegiatan sejenis yang berbasis kearifan lokal dari masing-masing daerah.
Biasanya, pertanyaan-pertanyaan praktis untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan di atas, seperti: apa-apa saja masalah-masalah yang sering melanda masyarakat? Dalam bidang kesehatan, apa? Dalam bidang ekonomi, apa? Dalam bidang Pendidikan, apa? Hasil dari jawaban-jawaban dikumpulkan lalu dikelompokan. Selanjutnya berdasarkan data-data itu, dibuatlah kegiatan untuk melakukan pembahasan dan pendalaman. Pembahasan dan pendalaman terhadap berbagai fakta sosial ini  berlanjut pada mendiskusikan tentang faktor-faktor penyebab dari masing-masing masalah.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab ini, masyarakat bisa diarahkan untuk kemudian memikirkan dan menawarkan berbagai kemungkinan pemecahan untuk berbagai masalah tersebut. Pertanyaan kritis sosial yang bisa memfasilitasi seperti: mengapa terjadi peningkatan angka pengangguran, urbanisasi, TKI illegal, penjualan manusia (human trafficking), kekerasan rumah tangga, perceraian, anak-anak terlantar, kriminalitas, penyakit sosial, korupsi, disparitas sosial dan sporadisasi kerusakan alam? Apa saja dampak-dampak lanjutan, bila masalah-masalah tersebut tidak segera diatasi? Komitmen seperti apa untuk mengatasinya? Bagaimana mengatasi semuanya itu? Tindakan-tindakan atau program-program praktis apa yang harus dilakukan dalam jangka dekat, menengah dan panjang?  Siapa-siapa yang harus terlibat agar tindakan-tindakan atau program-program praktis bisa berjalan secara efektif-efisien?
Berpikir dan bertindak kritis sosial secara praktis dapat dijalankan seperti yang digambarkan di atas. Memang sulit untuk memulai dan membiasakannya. Namun, kita bisa belajar dari negara-negara maju di Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan dan Singapur, yang sudah menjadikan pola-pola berpikir dan bersikap kritis sosial sebagai bagian dari kehidupan keseharian masyarakatnya. Kebiasaan berpikir, bersikap dan bertindak kritis sosial  sudah menjadi inheren dari kehidupan, terutama ketika mereka mengalami masalah yang berdampak pribadi maupun sosial. Hal ini terbukti, tingkat masalah sosial pada negara-negara ini berkurang dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia. Bila tingkat masalah sosial rendah, maka pembangunan dan pengembangan kehidupan masyarakat berjalan dengan lancar.

Pendidikan dan Pengembangan Social Critical Thinking
Tak dapat dipungkiri, pengembangan berpikir kritis sosial tidak bisa terlepas dari majunya tingkat pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan dalam segala perangkat dan bentuk kegiatannya menjadi salah satu andalan untuk membangun kemampuan berpikir kritis  sosial masyarakat dalam mengantisipasi dan mengatasi permasalah sosialnya. Masyarakat yang sudah maju kualitas pendidikannya, secara langsung atau tidak langsung membantu membangun kemampuan berpikir kritis sosial masyarakatnya, sehingga dapat memecahkan





*)Artikel ini Pertama  kali di Publikasikan di  SKH Pos Kupang, /10/2016. Dipbilikasikan di Mediafelikspedia.com atas ijinan penulis.

Catatan: Opini ini adalah tulisan pribadi penulis,  isinya tidak mewakili pandangan mediafelikspedia.com




Mempertimbangkan Social Critical Thinking Pada Masyarakat NTT Mempertimbangkan  Social Critical Thinking Pada Masyarakat NTT Reviewed by www.surya.com on Maret 15, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.