MEMPERTIMBANGKAN
SOCIAL
CRITICAL THINKING
PADA
MASYARAKAT NTT*
Oleh : Dr.
Marianus Mantovanny Tapung, M.Pd
Dosen Unika
Santu Paulus Ruteng
Yang juga tidak kalah
memperihatinkan terjadi pada ranah kesehatan. Selain fakta kematian ibu dan
bayi yang cukup tinggi, fakta gizi buruk juga belum lepas dari kehidupan
masyarakat di Kepulauan NTT. Sementara
itu perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) belum menyatu dengan keseharian masyarakat. Masih
banyak rumah tangga yang belum memiliki kamar mandi, cuci dan kakus yang
hiegienik. Selain itu, kinerja pelayanan kesehatan oleh paramedik belum cukup
optimal, dikarenakan jumlah tenaga yang minim, berikut tingkat pengalaman dan
kualifikasi yang belum memenuhi standar undang-undang.
Sementara
fakta pada ranah ekonomi mengguratkan bahwa masih banyak rumah tangga miskin
yang belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar sandang, pangan dan papan.
Data BPS per Maret
2015 menunjukkan penduduk miskin di NTT pada September 2014 berjumlah 991,88 ribu
orang (19.60 %) menjadi 1.159,84 ribu orang (22,61%) pada 2015. Ada peningkatan
sekitar 168 ribu orang. Tingginya peningkatan ini berlanjut pada
kondisi rendahnya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya, seperti
kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi. Minimnya biaya
berdampak pada kurangnya jaminan masa depan, sebab tidak ada investasi untuk
pendidikan dan masa depan keluarga. Masyarakat juga belum memiliki akses dalam
lapangan kerja dan mata pencaharian yang tetap. Dampak logis dari kondisi ini
adalah meningkatnya angka pengangguran, urbanisasi, TKI illegal, penjualan
manusia, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, anak-anak terlantar,
kriminalitas, penyakit sosial, korupsi, disparitas sosial dan sporadisasi
kerusakan alam.
Menurut Kinch (1974,
13-16) dalam bukunya Social Problems in
the World Todays, permasalah sosial ini secara faktual berdampak
sistemik pada goyahnya tatanan kehidupan masyarakat serta memperlambat
program-program pembangunan dan pengembangan
masyarakat. Menurutnya, memang tugas pemerintah memecahkan berbagai
masalah sosial tersebut, tetapi yang lebih penting, masyarakat mesti memiliki
kesadaran kritisnya sendiri. Kesadaran kritis ini menjadi dasar untuk berpikir,
bersikap dan bertindak kritis sosial. Masyarakat harus secara mandiri bangkit
dari keterpurukan dan keterbelengguan kehidupannya. Masyarakat mesti mampu mengelola kehidupannya, sementara
program-program pemerintah atau pihak lain bisa dijadikan sebagai pendukung.
Pengembangan
Konsep dan Praksis Berbasis Social
Critical Thinking
Sebagai anggota
masyarakat yang baik, fakta empirik nan miris di atas menjadi tanggung jawab
bersama. Butuh ketekadan dan komitmen dalam memecahkannya. Jika tidak,
masalah-masalah di atas akan menjadi warisan sosial yang mendera anak cucu kita
selamanya. Merujuk pada pemikiran Kinch,
kegiatan edukasi, advokasi dan pencerahan yang berbasis kritis sosial
untuk keluar dari berbagai situasi yang memprihatinkan perlu dikembangkan oleh semua
komponen masyarakat. Pengembangan konsep dan program yang memberdayakan
kemampuan berpikir, bersikap dan
bertindak kritis sosial menjadi tawaran yang strategis dan mendesak. Dengan
mampu berpikir, bersikap dan bertindak kritis sosial, masyarakat diarahkan
secara mandiri dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang melingkupinya.
BACA JUGA:
- Dr. Manto Tapung,M.Pd: Politik Kreatif dan Dekonstruksi Sosial
- OPINI: Sebaiknya Agama dan Pengetahuan Tetap Sejalan
Secara praktis,
strategi pengembangan berpikir kritis sosial masyarakat diawali dengan
pemberian segala bentuk informasi krusial dan penting berkaitan dengan masalah
kehidupannya. Informasi ini bertujuan
untuk membangun kesadaran sosial (sosial
awareness) tentang situasi nyata yang terjadi dalam dan sekitar hidup
kesehariannya. Kesadaran ini kemudian
menjadi dasar dalam mengumpulkan, mendata, mengelompokan dan mencermati fakta-fakta
sosial yang merusak dan tidak mendukung kehidupan yang layak. Kegiatan membahas
dan mendalami fakta-fakta sosial ini bisa dijalankan dengan sangat informal
seperti : duduk sambil minum di warung kopi, bincang-bincang waktu arisan atau
kumpul keluarga, atau kegiatan sejenis yang berbasis kearifan lokal dari
masing-masing daerah.
Biasanya,
pertanyaan-pertanyaan praktis untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan di atas,
seperti: apa-apa saja masalah-masalah yang sering melanda masyarakat? Dalam
bidang kesehatan, apa? Dalam bidang ekonomi, apa? Dalam bidang Pendidikan, apa?
Hasil dari jawaban-jawaban dikumpulkan lalu dikelompokan. Selanjutnya
berdasarkan data-data itu, dibuatlah kegiatan untuk melakukan pembahasan dan
pendalaman. Pembahasan dan pendalaman terhadap berbagai fakta sosial ini berlanjut pada mendiskusikan tentang
faktor-faktor penyebab dari masing-masing masalah.
Berdasarkan
faktor-faktor penyebab ini, masyarakat bisa diarahkan untuk kemudian memikirkan
dan menawarkan berbagai kemungkinan pemecahan untuk berbagai masalah tersebut.
Pertanyaan kritis sosial yang bisa memfasilitasi seperti: mengapa terjadi
peningkatan angka pengangguran, urbanisasi, TKI
illegal, penjualan manusia (human
trafficking), kekerasan rumah tangga, perceraian, anak-anak terlantar,
kriminalitas, penyakit sosial, korupsi, disparitas sosial dan sporadisasi
kerusakan alam? Apa saja dampak-dampak lanjutan, bila masalah-masalah tersebut
tidak segera diatasi? Komitmen seperti apa untuk mengatasinya? Bagaimana
mengatasi semuanya itu? Tindakan-tindakan atau program-program praktis apa yang
harus dilakukan dalam jangka dekat, menengah dan panjang? Siapa-siapa yang harus terlibat agar
tindakan-tindakan atau program-program praktis bisa berjalan secara
efektif-efisien?
Berpikir dan bertindak
kritis sosial secara praktis dapat dijalankan seperti yang digambarkan di atas.
Memang sulit untuk memulai dan membiasakannya. Namun, kita bisa belajar dari
negara-negara maju di Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan dan Singapur,
yang sudah menjadikan pola-pola berpikir dan bersikap kritis sosial sebagai
bagian dari kehidupan keseharian masyarakatnya. Kebiasaan berpikir, bersikap
dan bertindak kritis sosial sudah
menjadi inheren dari kehidupan,
terutama ketika mereka mengalami masalah yang berdampak pribadi maupun sosial.
Hal ini terbukti, tingkat masalah sosial pada negara-negara ini berkurang
dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia. Bila tingkat masalah sosial
rendah, maka pembangunan dan pengembangan kehidupan masyarakat berjalan dengan
lancar.
Pendidikan
dan Pengembangan Social Critical Thinking
Tak dapat
dipungkiri, pengembangan berpikir kritis sosial tidak bisa terlepas dari
majunya tingkat pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan dalam segala perangkat
dan bentuk kegiatannya menjadi salah satu andalan untuk membangun kemampuan
berpikir kritis sosial masyarakat dalam
mengantisipasi dan mengatasi permasalah sosialnya. Masyarakat yang sudah maju
kualitas pendidikannya, secara langsung atau tidak langsung membantu membangun
kemampuan berpikir kritis sosial masyarakatnya, sehingga dapat memecahkan
*)Artikel ini
Pertama kali di Publikasikan di SKH Pos Kupang, /10/2016. Dipbilikasikan di
Mediafelikspedia.com atas ijinan penulis.
Catatan: Opini ini
adalah tulisan pribadi penulis, isinya tidak mewakili pandangan
mediafelikspedia.com
Mempertimbangkan Social Critical Thinking Pada Masyarakat NTT
Reviewed by www.surya.com
on
Maret 15, 2020
Rating:

Tidak ada komentar: