LETANGMEDIA

Kampung Mati

 

Pria itu mengendarai sepeda motor. Badannya seperti mengigil tak henti, sum-sum tulangnya seperti lupa untuk kembali normal, saat melintasi jalan yang bermahkota kerikil itu. Matanya terhalang oleh banyaknya binatang peliharaan yang berpesta di sepanjang jalan, mengais hidup dipekarangan rumah. Berkubangan di jalan. Pria itu berhenti sejenak, sambil menggoyangkan kelopak matanya, ke kiri dan kanan, berharap ada orang seisi rumah yang mengusir binatang-binatang itu untuk tidak memangsa tanaman di sekiling rumah.

 

[caption id="attachment_697" align="aligncenter" width="276"]images ilustrasi: http://www.mongabay.co.id[/caption]

“Ah, sepertinya, ini biasa di sini”. Guman pria itu dalam hatinya. Ia kembali berjalan mengendarai motornya, dengan pelan dan penuh kehati-hatian, agar terhindar dari binatang-binatang yang sedang memangsa rumput liar di sepanjang jalan itu.

“Sepertinya orang-orang di sini, sengaja meliarkan binatang peliharaan mereka, pekarangan rumah mereka, bagai kebun binatang, jalan umum sebagai kadang terbuka untuk binatang-binatang ini. Upsss. dengan cekat dan cepat pria itu menginjak ream motornya” saat segerombolan sapi dan kambing melintasi punggung jalan itu.

Kittttttt…klakson motornya, berusaha dibunyikan sekeras mungkin, agar hewan-hewan itu memberikannya jalan. Sepertinya, binatang-binatang itu masa bodoh, dan sudah terbiasa dengan bunyian itu, hewan-hewan itu tetap berjalan melintasi jalan tanpa menggubris bunyi klakson motor dari pria yang sudah mulai kesal itu.

Pria, yang sudah agak kecewa dengan ulah binatang itu, turun dari motornya, sambil mengeluarkan kaca mata gelapnya, lalu mengandalkan suaranya utuk mengusir segerombolan binatang itu. Dengan pelan, hewan-hewan itu meninggalkan punggung jalan.

“Syukur, saya sudah melewati kampung ini, setidaknya saya luput dari binatang-binatang itu”. Ia mengenakan kembali kacamatanya untuk menghindarkan mata dari debu-debu  disepanjang jalan itu.

Kurang lebih, satu Kilometer dari kampung yang mengalahkan suara manusia oleh suara hewan-hewan peliharaan, ia sudah memasuki kampung tujuannya, yakni kampung sahabatanya semasa kuliah.

Bola matanya kembali bergerak ke kiri dan kanan, seakaan enggan berkedip, saat melihat pekarangan rumah penduduk di kampung itu yang dihiasai oleh tanaman sayur-sayuran. Hidungya berkembang, membiarkan udara segar merasuki jiwanya.

Waoh..hebat betul orang di sini, mereka sungguh memanfaatkan pekarangan mereka dengan menanam sayur-sayuran, pagar yang indah berbahan dasar bamboo dan kayu, mereka sungguh mencintai kebersihan dan kesehatan”. Sahut pria itu dalam hatinya, sambil mengendarai dengan pelan sepeda motornya, ia terus berpikir, berarti mereka di sini tidak ada hewan peliharaan seperti kampung di sebelah.

***

Dalam kekagumannya yang tak terhingga, ia sudah berada di depan rumah sahabatnya. Dengan pelan ia membuka helmnya, mematikan mesin motor, lalu masuk dengan gembira ke rumah sahabatnya yang sudah menunggu sejak pagi.

“Helo sobatku, selamat datang di  kampungku, kampung Damai” Sambut, Tus, sahabatnya.

Wajah gembira  terlihat dari senyuman Tam, melihat sikap sahabatnya yang selalu ramah. Kelurga Tus, turut gembira menyambut kedatangan Tam, yang sudah diceritakan oleh Tus kepada keluarga sebelumnya.

“Star jam berapa dari rumah tadi, Tam…?” tanya Tus, yang menunggu dalam cemas atas keselamatan Tam dalam perjalanan menuju kampungnya.

“Jam 08.00 Tus”. Sambar Tam.

“Loh, pelan amat jalannya, biasanya hanya 4 jam saja sudah sampai, sekarang sudah pukul 14.30” Singgah di mana tadi Tam? Tanya Tus dalam nada guyon.

“Macet Tus”.Sambung Tam, sambil memegang segelas air putih.

Wekwkwk. Tam. Tam, macet”. Sambung Tus dalam nada datar dan bercampur lucu.

“Yah macet”. Sahut Tam, dalam nada yang bergelombang.

“Ah, Tam. Sikapmu, tak pernah berubah. Sejak kuliah  sampai sekarang  selalu menjawab pertanyaan yang membuat orang pusing untuk berpikir”.

“Macet itu, hanya ada di kota-kota besar Tam…. Sebagaimana yang kita alami sejak kuliah dulu. Hal itu, belum terjadi di sini, lagian, jalur ini tidak sering dilalui oleh kendaraan”.

“Memang benar apa yang kamu katakan Tus”. Sahut Tam, berusaha utuk menghentikan omelan Tus.

“Saya terlambat, bukan macet karena banyaknya mobil, Tus”. Sahutnya, sambil menikmati  mentimun hasil tanaman pekarangan orangtua sahabatnya.

“Terus. Macet Kar..(Tam langsung menyambarnya) karena bina…tang Tus”.

“Hahahaha”.Tus tertawa mendengar alasan sahabatnya, yang diucapkan dengan sedikit lantang bercampur kecewa.

“Saya tau Tus, pasti kamu ketawa, sejak kuliah, kau senang melihat saya sebel, kecewa dan emosi”. Sambung Tam, sambil menghabisi mentimun yang ada dihadapan mereka. “Tapi, justru hal itu, yang membuat saya merasa sedih bila mengingat kembali “kegilaan” kita dulu. Lanjut Tam.

“Tus, saya yakin kau sudah tahu dan percaya, bahwa di kampung yang saya lewat tadi, banyak binatang kan?

“Ya, ia’lah, saya sering lewat di situ. “Saya menamakan kampung itu, kampung mati”.

Kok, kampung mati, Tus? Tanya Tam, yang sedikit bingun dengan kalimat kalimat itu.

“Ya, benar Tam. Kampung Mati”. Lanjut Tus.

 

Tapi, masih ada penduduknya Tus. Sambung Tam, yang kurang paham dengan kalimat sahabatnya yang suka memberikan nama baru kepada apa yang membuatnya sakit hati dan aneh.

Memang penduduknya masih ada, Tam. Tapi yang saya maksudkan Kampung Mati adalah karena mereka membiarkan halaman jalan dan pekarangan rumah mereka sebagai kandang terbuka untuk hewan-hewan peliharaan.

“Mereka tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan pekarangan dengan menanam sayur-sayuran, atau membuat kandang untuk ternak mereka, sehingga dengan demikan tanam meraka aman, dan kotoran hewan –hewan itu dapat dijadikan pupuk”. Selama ini saya masih cari waktu yang tepat Tam, untuk membagikan pengalaman ini kepada mereka. Sambil menatap Tam yang masih kagum dengan aktivitas masyarakat setempat, yang sibuk menyiram tananam sayur-sayuran di sekeliing rumah mereka, anak-anak, laki-laki dan perempuan tidak terkecuali.

“Tus, kalau boleh tahu, aktivitas menyiram tanam sayur-sayuran di sini, kayaknya aktivitas rutin setiap sore, ya”. Tanya Tam, sambil melihat aktivitas masyarkat itu dari teras rumah.

“Ya, Tam”. Sahut Tus, dalam nada sedikit cemas, sambil mengarahkan tatapannya kepada sosok seseorang yang sedang menuju rumahnya.

“Berarti, di sini tidak ada hewan peliharaan ya, Tus, sama seperti di kampung sebelah yang kau namakan kampung mati itu”. Tus, berusaha untuk tidak meresponnya, agar sahabatnya yang selalu keras kepala itu, tidak melanjutkan diskusi ini.

 

Tus, semakin cemas, takut, dan gelisah, ketika sosok yang dilihatnya, mematikan mesin mesin motornya tepat di depan rumahnya, dan memilih untuk singgah di rumah Tus.

Tus, berusaha dangan banyak cara, untuk mengelabui Tam, supaya tidak membahas kampung mati itu lagi.

“Nana, selamat sore, bapa dan mamamu ada dirumah? Tanya pria yang sedikit lebih tua dari mereka dalam nada ramah.

“Am, am. Me.me.mereka lagi pergi siram sayur Om”. Jawaba Tus dengan sedikit takut, dan berharap agar pria itu lebih cepat meninggalkan mereka, sebelum ada pertanyaan tentang kampung mati dari sahabatnya.

“Oh. Begitu yah”. Kalau begitu boleh saya tunggu di sini? Tanya pria, yang berasal dari kampung mati yang disebutkan Tus. “Oh, yah pak, tidak apa-apa”. Jawab Tus sambil mengaharapkan agar orang tuanya cepat kembali ke rumah.

“Selamat sore Om. Sapa Tam, yang baru pulang beli rokok dari kios yang selang serumah dengan rumah Tus”. Mampus gue, gawat-gawat.  Guman Tus dalam hatinya.

“Saya Tam, Om, temannya Tus”. Kata pria yang masih simpan sejuta penasarannya, sambil berjabatan Tangan.

“Oh, teman kuliahnya Tus, dulu ya”. Sambung pria yang berusia 35 tahun itu dalam nada datar sambil menganggukan kepala.

“Yah, om, kebetulan lagi libur. Sehingga sempatkan waktu untuk pesiar”. Sahut Tam, sambil membuka bungkus rokoknya dan melektakkanya di atas meja. “Trimakasih Tam, semoga engkau terus melupakan pertanyaanmu tadi”. Harapan Tus dalam hatinya.

Harus, begitu, pesiar, saling kujung teman. Saya juga, manfaatkan kesempatan libur untuk kunjung kelaurga, sekaligus mempererat tali kekaluargaan dan persahabatan. Lajut pria yang ahli dibidang pertanian tersebut.

“Hehheh. Itu sudah om”. Singkat Tam.

Tus. Bapa dan mama belum pulang yah? Tus. Tus. Apa yang sedang kau pikirkan? “Kelihatannya benggong”. Hhhhhh. Guman Tus. Oh, tidak”. “Saya tidak pikir apa-apa”. Jawab pria itu, singkat. Bapa dan mama, sudah pulang apa belum? Tanya Tam,  sedikit keras. Dari tadi saya tanya, belum juga dijawab. “Hhhh, belum bro”. Jawab Tus, sambil memberikan senyum ramah kepada kedua tamunya.

Tus, jangan terlalu serius memikirkan pertanyaan saya tadi? Gangu pria yang masih penarasan dengan kampung mati dan kebiasan kampung sahabatnya, Tus.

Waoh, rupanya sedang mendiskusikan hal yang serius tadi ya? Sambung pria yang sedang menunggu orang tuanya Tus itu. “Ah. Tidak Om, maklum anak muda”. Sela, Tus untuk mengalihkan pembicaaraan.

Saya suka itu, Tus. Sambung  Edi, sang ahli tanaman pertanian organik. Waduh..mampus gue, guman Tus dalam hatinya, yang tidak tampak di wajahnya.

Memangnya, ada pertanyaan apa tadi Tus? Tanya Edi. “Gawat-gawat, gawat”. Guman Tus dalam hati, sambil memberikan tanda-tanda kepada Tus, berharap alihkah pertanyaan. Mata berkedip, pura-pura batuk, kaki bergerak, berharap Tus melihat gerak tubuhnya yang sedang memberikan aba-aba (bady lingusitik).  Tus pura-pura tidak melihatnya. “wkkwk, takut yang bro, sampai kapan bro, mumpung di depan kita praktisi pertanian organik, mungkin harapan dan kesempatan yang kau rindukan untuk menghidupkan kampung mati itu, akan terwujud sekaran”. Kata Tus dalam hatinya.

“Begini pak, dari tadi kami sedang membicarakan kebiasaan masyarakat di sini, yang memanfaatkan lahan pekarangan untuk menanam sayur, dan menggunakan kotoran hewan yang mereka kandang sebagai pupuknya. Menariknya lagi, seolah-olah kegiatan menyiram sayur di sini, kayak sedang berwisata. Karena mereka melakukannya dengan senang hati, baik laki-laki maupun perempuan. Yah, setidaknya mengurangi sedikit pengeluaran untuk beli sayur, bahkan, menurut cerita Tus tadi, ada juga masyarakat dari kampung tetanga untuk membeli sayur di sini. Yang oleh Tus, disebut Kampung Mati. Kata Tam, kepada Edi, sambil mengaharapakan pertanyaan dan penjelasannya. Mapus gue, guman Tus, sambil memberikan aba-aba melalui bahasa tubuh, untuk memberitahukan kepada Tus, bahwa pria yang sedang diajak bicara tersebut, dari kampung Mati itu.

Ia, ini menjadi rutinnitas di sini, selama enam bulan terakhir ini, setelah sebelumnya mereka memjadikan pekarang mereka sebagai kandang terbuka bagi ternak mereka. Sambung pria itu, untuk menyakinkankan Tus.

Nah, ini dia yang kumaksudkan. Kata Tus dalam hatinya.  Tapi kampung mati yang dimaksudakn tadi, apa ya? Tanya pria itu, sedekit kaget mendeangar kalimat itu.

“Wewewek, begini pak, tadi, saat saya mau datang ke sini. Saya lewat, disalah satu kampung. Saya sangat menyesal, bahkan sedikit marah, melihat hewan-hewan piraa warga berkeliaran, seolah-olah badang jalan, dan halamna pekerangan rumah  menjadi kandang terbuka, bahkan akan menjadi kubangan saat musim hujan nanti.  Padahal kalau dipikir-dikir, masyarkat dapat mewanfaatkan pekarangagan untuk menanam sayar, dan membuat kadang untuk hemwan paiaran tersebut. Selain mmeberikak kenayaman bagi pengguna jalan, juga kotoran dari hwan tersebu  dapat digukana manjadi pupuk, sebagaimana yang dilakukan di kampung ini”.  Kata Tam, kepada pria tersebut, sambil melirik kea rah Tus, yang selalu setia dengan keresahaanya.

“Dinamakan kampung mati, itu istilah dari Tus”. Sambil melihat sahabatnya yang semakin cemas. Saat saya menceritakan apa yang saya lihat, dan yang saya alami di kampunng itu, bahkan saya sampai-sampai terjatuh, karena segerombolan kambing dan sapi yang berkeliaran di punggung jalan itu. “Kampung  Mati, kata sahabatku ini”. Sambil menepuk bahu Tus yang sedang memunculkan keringat dingin dari dahinya.

“Wwewewew”. Tawa singkat dari pria yang sedang duduk berhadapan dengan mereka,   sambil mangambil gelas kopi yang telah disuguhkan oleh Tus sebelumnya.

Tus, habis akal, kecamasannya semakin berkecamuk, gelombanng darahnya semakin kenjang, bola matanya tidak tenang, posisi duduknya juga tidak tenang, saat melihat ekspresai pria yang sedang berhadpan dengan meraka.

“Kenapa Tus?” Tanya Tam, sambil memerhatikan ekspresinya. Tus seakam dibungkam oleh perasaannya sendri.

Darahnya mengalir semakin kenjang, rasa takutnya semakin liar, bola matanya bergerak lebih cepat, jantungya berdetak lebih cepat dari biasannya, saya pria di hadapannya, menyentuh dan mengambil gelas kopi yang telah ia suguhkan.

Situasi itu rubah begitu cepat, saat Edi, mengambil gelas kopi yang ada didepannya, lalu diminumkan.  Aduhhhh..trimkasih Tuhan. Kata Tus dalam hatinya.

Memang benar apa yang kamu katakana Tam, kata pria itu sambil meletakkan kembali, gelas kopi itu di meja.

 

Itulah yang sedang ingin kami gerakkan dalam beberapa hari ini kedepan, dan sebelum datang ke sini tadi, kami sudah membahas hal tersebut bersama masyarakat.  Supaya kedepannya, tidak disebutkan kampung mati lagi. Seperti yang dikatakan Tus. Kata pria itu dalam nada serius, diakhiri dengan sedikit tawa.

“Oh, syukur kalau begitu pak, itu yang sedang direncanakan oleh sahabat saya ini, dalam diskusi kami sebelumnya tadi”. Kata Tam, sambil menepuk bahu Tus.

“Jadi, sebelum datag ke sini tadi, bapak singgah di sana?” Tanya Tam. “Kwkwwkwk, itu kampung saya, Tam”. Jawab pria itu, sambil mengambil menghabiskan kopinya.

“Busssssettttt, mati gue”. Sahut Tam dalam hatinya. Raut wajahnya Tam, mendadak pucat, saat mendengar kalimat dari pria itu (itu kampug saya), mati gue. Pantassan dari tadi, lelaki disamping saya ini, selalu memberikan isyarat. Guman Tus dalam hatinya dengan sedkit kurang percaya dengan situasi itu.

 

Dengan sedikit tergesa, bercampur malu, dan penyelasan, Tam kembali memulihkan pandanganya dan berkata “Maaf sebelumnya tadi pak, mungkin kata-kata saya menyinggung prasaan bapak, sekali-lagi saya minta maaf pak”

“Tam, Tam, tidak apa-apa, itu hal biasa kok, kanyataannya juga memanng seperti itu. Jadi tidak usah merasa bersalah. Justru saya, senang gagasan –gagasan seperti itu”.  Kata pria itu dalam nada pujian.

“Saya juga berharap, kalau Tam masih lama di sini, sesekali pergi bersama Tus, di kampung saya. Kebetulan pekan ini, kami akan mulai melakukan gerakan tahap satu, yaitu, gerakkan sehari membuat kandang”. Ajakan pria itu, dalam nada harap.

 

“Waoh, ide kren tuh, pak. Kami siap hadir nanti  pak; atau gimana Tus?”. kata pria yang sudah sedikit legah setelah minta maaf atas kecerohananya.

Tus, saya pamit dulu, titip salam saja buat bibi nanti, takut kemalaman. Oh ya Om, hati-hati di jalan.

 

“Tam.Tam. Jantungku terasa dicopot. Saat, kau berapi-api bicara tentang kampung mati. Apalagi kalau ada Mama tadi”.

Maksunya?  Tanya Tam. Mamaku dari sana, dari kampung mati itu. “Waduh, mati gue, kamu sih, tidak pernah kasih tahu ke aku”. Kata pria itu.

“Yah, sudalah, sekarang kita akan lihat perubahan dalam beberapa Minggu kedepan. Karena saya yakin, mereka akan memulai membuat hal baru nanti, yakni membuat kandang untuk ternak mereka, dan menanam sayur di pekarangan rumah mereka. Dan Tam tidak akan pernah macet oleh segerombolan kambing dan sapi, sambung Tam. Sambil ketawa.

***

Semangat dan komitmen bersama, tidak pernah mengkianiati hasil. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perubahan kampung yang dulunya disebut kampung mati oleh Tus.

Sayur-sayur organik yang ditanaman di pekarangan rumah dan yang dekat dengan rumah masyarakat, tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan sayur rumah tangga, tetapi juga sebagai salah satu sumber penghasilan mereka.  Hewan piaraan, yang dulu berkeliaran, dan berkubangan di halaman jalan dan pekarangan rumah, kini dikandangkan, dan kotoran-kotoran hewan tersebut dijadikan pupuk.

Melihat itu, Tus menggingatkan sosok sahabatnya yang ceplos menyebutkan kampung mati. Dalam hatinya berkata, “selamat tinggal kampung mati, selamat datang alam sayur organik”. Perubahan itu pun diberitahukan kepada sahabatnya Tam. Tam, kalau kamu datang lagi di kampug saya, pasti sampainya lebih cepat. Karena tidak ada lagi macet yang disebabkan oleh segerombolan sapi dan kambing.  Gerombolan sapi dan kambing itu, berubah menjadi taman sayur dan mentimun kesukaanmu”.

“Pak Edi dan masyarakat setempat sungguh menikamati hasilnya, tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi kenyamanan”. Cerita Tus, kepada bapa dan mamanya, setelah pulang dari kampung itu.   Waoh..luar biasa Sobat. Aku senang mendengarnya, setidakya sedikit hemat energy berhadapan dengan gerombolan sapi dan kambing yang tidak peduli dengan bunyi klakson motorku.  Selamat tinggal kampung Mati menurut sahabatku, selamat datang kampung kaya sayur dan mentimun kesukaan itu. Kata Tam, memalalui telpon genggamnya kepada sahabatnya Tus.

***

Catatan :

*Nana: Panggilan orang Manggarai untuk lelaki yang paruh baya. Biasanya panggilan kesayangan oleh orang tua, untuk anak laki-laki atau oleh orang yang lebih tua.

** Cerita ini, hanya fiktif. Mohon maaf bila ada kesamaan nama pada cerpen ini, kesemaan kisah, dan kesamaan realitas. Itu hanya kebetulan.

 

 
Kampung Mati Kampung Mati Reviewed by www.surya.com on November 17, 2017 Rating: 5

3 komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.