LETANGMEDIA

Traditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan Karakter




Ilustrasi(jurnalsumatra.com)
Pada tahun 2012 koordinator Yayasan Sahabat Kapas, Dian Sasmita mengatakan kecanduan anak-anak pada game online seperti kecanduan pada narkotika, karena ketika ingin bermain dan tidak punya uang, anak akan melakukan segala cara, termasuk berbuat tindakan criminal, aktivitas di depan layar computer untuk bermain game membawa dampak buruk kepada anak-anak, seperti anak-anak terisolasi dari lingkungan (http://tempo.-com, diakses tanggal 27/5/2018).

Sementara hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Hanover Jerman telah menemukan bahwa game online bisa menyebabkan seseorang mengalami kepribadian ganda. Hal ini diperoleh berdasarkan penelitian pada seorang wanita yang bermain game online setiap hari selama tiga bulan, dengan memainkan beberapa tokoh yang berbeda. Ternyata, tokoh-tokoh imajinasi itu mengambil alih kepribadiannya sehingga wanita tersebut kehilangan kendali atas kontrol identitas dan kehidupan sosialnya (Renggani, 2012, dalam Nur. H, 2013: 89).

Sementara itu organisasi kesehatan dunia (WHO) bakal menetapkan kecanduan bermaingame sebagai salah satu gangguan mental, berdasarkan dokumen klarifikasi penyakit internasional ke-11 (international classified Disease/ICD) yang dikeluarkan WHO, gangguan ini dinamai gaming disorder, gejala itu ditandai dengan pertama dan terutama gangguan gaming disorder akan bermain game secera berlebihan, baik dari segi frekuensi, durasi, maupun intensitas, kedua gaming disorder memprioritas bermain game, ketiga pemain game tetap melanjukan permaian meskipun pengidap sadar dampak negatif mulai muncul. Terkait dengan itu arahan WHO penyembuhan gangguangaming disorder dapat dilakukan selama 12 bulan dengan bantuan psikiater (kompas.com/3/1/2018).

Harus diakui juga bahwa, di samping banyaknya pengaruh negatif terdapat pula manfaat positif, seperti melatih konsentrasi, melatih berpikir cepat, sportifitas, dan lain-lain. Hal itu dibuktikan melalui penelitian Killian Mullan seorang peneliti Universitas Oxford terhadap anak remaja dengan rentang usia hingga 18 tahun, tidak ada kecanduan dan kelainan prilaku bagi pencandu game. Walau demikian, main game seacara berlebihan berpengaruh pada mental, bila tidak diimbangani dengan kegiatan fisik dan kegaitan sosial lainnya (kompas.com/3/1/2018).


Tidak sedang mengabaikan manfaat positif dari permainan game modern, penulis menaruh harapan pada pengaruh negatif yang berpengaruh buruk pada karakter anak-anak. Di balik banyaknya dampak negatif dari game digital, Indonesia memiliki banyak permainan tradisional yang kaya akan nilai luhur dan memiliki nilai-nilai edukatif serta penguatan karakter. Atas dasar itu pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengusahakan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).


Arie Budhiman staf ahli Pembangunan Karakter Kemendikbud menjelaskan salah satu tujuan PPK adalah mengembalikan pendidikan karakter sebagai roh dan fondasi melalui harmonisasi olahan hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik), dan lain sebagainya. Namun di saat yang bersamaan di berbagai media cetak dan online berita tawuran antar pelajar, ulah pelajar yang berbanding terbalik dengan kode etik tidak pernah alpa diberitakan. Parahnya lagi, bibit pemikiran radikalisme mendapat tempat pada diri anak yang sedang belajar. Masalah ini lama-lama kelamaan akan semakin menggurita dalam diri anak yang adalah generasi bangsa.


Munculnya gerakan PPK didasarkan pada kenyataan sebagimana dikutip oleh Arie Budhiman bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2015 masuk dalam peringkat ke-88 (Transparency International, 2015), naik dari tahun 2014 yang berada di peringkat 107, tindakan kekerasan dengan 1000 kasus sepanjang tahun 2016, intoleransi, radikalisme / terorisme, separatisme, pengguna narkoba yang mencapai 5,1 juta orang dan 15.000 meninggal setiap tahun (BNN, 2016), pornografi dan cyber crime dengan 1.111 kasus di tahun 2011-2015 (KPAI), 767 ribu situs pornografi diblokir Kemenkominfo selama tahun 2016, penyimpangan seksual, 119 komunitas LGBT di Indonesia (UNDP, 2014), krisis kepribadian bangsa dan melemahnya kehidupan berbangsa dan masih banyak persoalan lainnya.


Di tengah maraknya persoalan karakter, kita memiliki kesempatan di tengah kekayaan tradisi lokal sebagai media komunikasi nilai-nilai karakter yang justru menghantar anak didik seturut lima nilai prioritas yakni integritas, gotong royong, nasionalis dan mandiri.


Permainan tradisional adalah permainan yang diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Cahyono sebagaimana dikutip oleh Haerani Nur dalam Jurnal Pendidikan Karakter (2013:92-93) menjelaskan bahwa permainan tradisional dapat membentuk karakter positif: Pertama, belajar berinovasi, karena permainan tradisional cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan sekitar tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi.


Kedua, belajar sosialisasi diri (mengasah potensi interpersonal), sebab setiap permainan anak-anak melibatkan permainan yang relatif banyak.Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada aturan.


Hal senada dijelaskan oleh oleh Misbach (2006:7) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:pertama, aspek motorik dengan melatih daya tahan, daya lentur, sensorimotorik, motoric kasar, dan motorik halus; Kedua, aspek kognitif dengan mengembangkan imaginasi, reativitas,problem solving, strategi, kemampuan antisipatif, dan pemahaman kontekstual;


Ketiga, aspek emosi dengan menjadi media katarsis emosional, dapat mengasah empati dan pengendalian diri; Keempat, aspek bahasa berupa pemahaman konsep-konsep nilai. Kelima,Aspek sosial dengan mengkondisikan anak agar dapat menjalin relasi, bekerja sama, melatih kematangan sosial dengan teman sebaya dan meletakkan pondasi untuk melatih keterampilan sosialisasi dengan berlatih peran dengan orang yang lebih dewasa dan masyarakat secara umum; Keenam, aspek spiritual, permainan tradisonal dapat membawa anak untuk menyadari keterhubungan dengan sesuatu yang bersifat Agung (transcendental); Ketujuh, aspek ekologis dengan memfasilitasi anak untuk dapat memahami pemanfaatan elemen-elemen alam sekitar secara bijaksana; Kedelapan, Aspek nilai-nilai/moral dengan memfasilitasi anak untuk dapat menghayati nilai-nilai moral yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya (Nur.H, 2013:93).


Permainan tradisional sebagai bagian dari budaya turut membentuk karakter anak pada usia prasekolah dan usia sekolah dasar. Hal ini menandaskan pendidikan nasional berbasis potensi lokal. Potensi lokal yang berkembang pada kehidupan masyarakat akar rumput, menghantarkan makna pendidikan yang berbasis masyarakat. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nomor 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat 16 mendefenisikan Pendidikan berbasis masyarakat sebagai penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.


Jenis permainan masa kecil bila direfleksikan sekarang ternyata syarat nilai-nilai edukatif yang mengarah pada pembentukan dan penguatan karakter. Di antara banyaknya permainan masa kecil, penulis mencoba melihat salah satunya saja, yakni permainan tradisional yang mengagas bermain peran. Tentu banyak permainan tradional yang melibatkan bermain peran anggota kelompok, salah satunya adalah simulasi kehidupan rumah tangga. Penulis menyebutkan simulasi kehidupan rumah tangga, sebab sampai saat ini penulis belum menemukan arti yang tepat untuk menyebutkan permainan tersebut, yang dalam bahasa Kempo-nya (wilayah tengah Manggarai Barat) pande ipang/pande lambu. Pada permainan ini anak-anak biasanya dibentuk dalam kelompok. Dalam kelompok secara sadar anak-anak membagikan tugas ada yang berperan sebagai sosok ayah, sosok ibu, dan sosok anak.


Menariknya dalam permainan tersebut, yang berperan sebagai sosok ayah melaksanakan tugas sebagai ayah, misalnya cari kayu api, pergi belanja di pasar, dan lain-lain, sementara yang berperan sebagai ibu melaksanakan tugas memasak menggunakan tempurung, menimba air, membujuk yang berperan anak saat anak menangis, menyiapkan “makanan” secara adil kepada semua anggota keluarga (anggota kelompok yang terlibat dalam permainan)


Sadar atau tidak dalam permaian sederhana ini, dan permainan tradisional lainnya memiliki nilai edukasi yang dijadikan media untuk mengkomunikasikan kepada anak-anak itu sendiri tentang bertanggung jawab, sosialisasi diri (self sosialitasion) dengan orang lain, belajar memimpin (leader ship), belajar bagaimana berpikir dan bertindak dalam anggota kelompok, belajar kerja team (team work), belajar beretika (learning ethics), belajar kerja individu dan kerja bersama (learning individual & team work), belajar berkomunikasi (communication), analis persoalan (problem analysis) dan perancang/pengembangan untuk solusi (design / development of solutions).


Bahkan dalam permainan tradisional secara instrinsik mengarahkan anak-anak bepikir inovatif dan kreatif, sebagai contoh, dalam simulasi kehidupan keluaga anak-anak menggunakan tempurung sebagai ganti periuk, membuat mobil dari kayu sebagai alat permainan, membuat gasing, dan masih banyak inovasi lainnya. Artinya di saat bersamaan anak-anak sedang bepikir merekonstruksikan alat-alat pemainan tradisional. Singkat kata bahwa permainan tradisional mengasah soft skills danhard skills secara sekaligus. Harus diakui pula semuanya memiliki dampak negatif dan positif.


Terlepas dari akibat negatif nilai-nilai edukatif permainan tradisional selaras dengan nilai-nilai karakter yang dapat ditanamkan pada anak-anak usia dini (0-6 tahun) yaitu: (1) aspek spiritual, (2) aspek personal/kepribadian, (3) aspek sosial, dan (4) aspek lingkungan. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan, kecintaan dan penanaman perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaan. Pendidikan karakter tidak lepas dari nilai-nilai dasar yang dipandang baik. Pada pendidikan anak usia dini nilai-nilai yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku mereka mencakup: Kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran disiplin, toleransi dan cinta damai, percaya diri, mandiri, tolong menolong, kerja sama, dan gotong royong, hormat dan sopan santun, tanggung jawab, kerja keras, kepemimpinan dan keadilan, kreatif, rendah hati, peduli lingkungan serta cinta bangsa dan tanah air (Dian Kristiana, dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan PraSekolah dan Sekolah Awal (journal.umpo.ac.id).


Tentu tidak perlu diatur secara formal dalam kurikulum, tetapi lebih pada kreatifitas guru dalam menyajikan pembelajaran. Namun sebagai harapan sekaligus tindakan penyelamatan terhadap kekayaan permainan tradisianal, maka hal ini perlu ditegaskan dalam kurikulum. Sehingga dalam hal ini sangat penting bagi guru untuk bersosialisasi dengan masyarakat demi mengenal permainan-permainan yang biasa dan sering dimainkan oleh anak-anak.


Misalnya dalam pendidikan jasmani, didahulukan memberikan kesempatan kapada anak didik untuk memainkan permainan tradisional, dalam mata pelajaran PKN memberikan kesempatan kepada siswa untuk memainkan permainan tradisional yang menekankan nilai gotong royong, cinta sesama, disiplin, dan tolerasi, dalam mata pelajaran agama dengan didahulukan memperkanalkan siswa memainkan permainan tradisional dalam pembentukan karakter.


Potensi lokal akan tetap ada selain didokumentasikan dalam bentuk buku, tetapi juga kreatifitas guru dalam mengajar sangat dibutuhkan. Tindakan ini tidak hanya menyelamatkan potensi lokal Indonesia, tetapi juga menanamkan nilai kerakter dan wawasan kebangsaan anak didik, sehingga guru “tidak hanya menfokuskan perhatiannya pada bagaimana memutuskan apa yang harus dipelajari anak-anak dan bagimana anak-anak berpikir, tetapi yang menjadi prioritas dalam mengajar anak-anak adalah bagaimana cara belajar dan bagaimana cara berpikir” (Rose.C dan Malcom J.N, 2015:13).(Feliks Hatam) *


*)Penulis adalah Pecinta Budaya dan Tenaga Kependidikan STKIP Santu Paulus Ruteng.


Artikel ini, telah dipublikasikan pada Laman www.floredpost.co
Traditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan Karakter Traditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan Karakter Reviewed by www.surya.com on Juni 16, 2018 Rating: 5

2 komentar:

  1. […] juga:Traditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan KarakterTraditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan KarakterTraditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan […]

    BalasHapus
  2. […] harus menjadi satu kebutuhan yang merangsang setiap pribadi berusaha untuk mencapainya. Baca Juga: Traditional Games sebagai Media Komunikasi Penguatan Pendidikan Karakter Ketiga Mengakui tiga Generasi sebagai satu rumpun., Membangun persekutuan ekologis adalah cara […]

    BalasHapus

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.