LETANGMEDIA

OPINI: Sebaiknya Agama dan Pengetahuan Tetap Sejalan



Sebaiknya Agama dan Pengetahuan Tetap Sejalan*
Oleh : Dr. Marianus Mantovanny Tapung, M.Pd
Dosen Unika Santu Paulus Ruteng
 
Dr. Marianus Mantovanny Tapung, M.Pd


MEDIAFELIKSPEDIA.COM-Fenomena kebangkitan gerakan-gerakan yang bersayap keagamaan di Indonesia memberi signal bahwa masyarakat masih memiliki orientasi dan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap agama yang dianutnya. Faktualitas ini menjadi sangat positif dan perlu dihargai, ketika dibandingkan dengan masyarakat bangsa barat yang pada umumnya mengalami disorientasi dalam hidup berkeagamaan. Disorientasi tersebut bisa saja disebabkan kencangnya hembusan paham-paham seperti rasionalisme, sekularisme, liberalisme, pragmatisme, dll yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakatnya. Sementara dalam konteks kehidupan Indonesia yang plural/multikultural, entitas keagamaan telah memberi nilai lebih dalam mendukung kerukunan dan kedamaian hidup masyarakatnya (peaceful co-existence). Bahkan bila menoleh pada sejarah awal perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia, agama telah menjadi  basis spiritual-religius dan sosial yang begitu diperhitungkan ketika melawan segala bentuk imperialitas, dominasi dan determinasi  dari luar maupun dari dalam, yang mengancam integrasi bangsa. Agama sebagai lembaga spiritual-religius dan sosial telah membuktikan diri sebagai salah satu tameng dan pilar kebangsaan dalam menjaga keutuhan NKRI. Institusi agama dan para ulamanya telah berperan sangat sentral dalam mengarahkan dan memberdayakan umatnya untuk senantiasa memelihara kerukunan dan kedamaian negara bangsa. Karenanya, agama-agama harus tetap bertahan dan perlu mengembangkan diri agar selalu dapat mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia.   

            Pertanyaan muncul, mengapa agama masih bisa bertahan dan menjadi salah satu lembaga yang dapat memberi garansi bagi keberlangsungan hidup manusia? Saya coba menjawab dan mendalami pertanyaan ini dari perspektif hubungan antara  ilmu pengetahuan dan agama. Saya ambil contoh kasus sejarah perkembangan gereja. Munculnya Revolusi Pengetahuan Kopernikus (1473-1543) dengan gerbong heliosentrismenya telah mengoreksi secara mendasar paham geosentrisme yang dikembangkan berabad-abad lamanya oleh otoritas Gereja. Koreksi yang besar ini membidani lahirnya berbagai dampak reformasi dan transformasi pemikiran, di mana gereja mulai terbuka pada diskursus, penalaran bebas dan cara pandang alternatif serta merespon secara positif perkembangan ilmu dan teknologi. Pengakuan mengenai ‘adanya keselamatan di luar gereja’ dan ‘gereja harus senantiasa merubah dirinya’ serta ‘gereja menjaga keseimbangan antara iman dan pengetahuan’, menjadi tiga hal mendasar yang menandai perubahan dan keterbukaan dalam tubuh Gereja.

Momentum perubahan dan keterbukaan ini dilanjutkan spiritnya dalam konsili Vatikan II (1962-1965), di mana dalam beberapa segmennya telah membuat evaluasi terhadap isi dogma dan tradisi gereja yang dinilai tidak relevan, aktual dan kontekstual lagi. Evaluasi ini tentunya merujuk pada elaborasi konstruktif  antara ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi yang pada saat itu sudah berkembang pesat. Gagasan dan bahasan yang substantif, relevan, aktual dan kontekstual pada berbagai ensikliknya dalam konsili itu, memberi gambaran terang bahwa Gereja sudah semakin responsif dan akomodatif pada kebaruan dan kekinian, baik dalam cara pandang, sikap hidup, dan maupun cara menanggapi perubahan dan perkembangan. Karenanya, mengemukanya gagasan tentang keseimbangan pengembangan iman dan pengetahuan menjadi alasan yang paling masuk akal tentang mengapa Gereja tetap ‘berada’ dan ‘mengada’ secara baik sampai saat ini. Gagasan inilah yang kemudian membuat Gereja bertumbuh dan berkembang, diterima dan menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia. Menyadari hal ini, tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II meminta maaf kepada dunia karena telah lama resisten terhadap perkembangan pengetahuan dan terlibat dalam konspirasi ‘membunuh’ Galileo Galilei (1564-1633); seorang  ‘santo’ dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Kemudian, kesadaran ini diafirmasi kembali dalam pidato Paus Benediktus XVI, 21 Desember 2008  mengenai rehabilitasi nama Galileo Galilei sebagai ilmuwan dunia. Masyarakat dunia pada umumnya merespek dan mengapresiasi secara baik permintaan maaf dari dua pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma ini. 

"pandangan dan sikap gereja terhadap perkembangan dan masalah dunia berikut berbagai penyelesaian, tidak pernah terlepas dari kajian-kajian kritis-analitis dan solutif, yang merupakan kompetensi inti dari ilmu pengetahuan. Adanya ruang untuk mengaktualisasikan dan mengkontestualisasikan ajaran-ajaran social gereja dengan realitas hidup masyarakat, serta kesempatan untuk menerjemahkan dan menginterpretasikan ajaran-ajaran tersebut dengan keseharian hidup masyarakat, menyebabkan gereja semakin mendapat tempatnya di dunia"

Selanjutnya, pandangan dan sikap gereja terhadap perkembangan dan masalah dunia berikut berbagai penyelesaian, tidak pernah terlepas dari kajian-kajian kritis-analitis dan solutif,  yang merupakan kompetensi inti dari ilmu pengetahuan.  Adanya ruang untuk mengaktualisasikan dan mengkontestualisasikan ajaran-ajaran social gereja  dengan realitas hidup masyarakat, serta kesempatan untuk menerjemahkan dan menginterpretasikan ajaran-ajaran tersebut dengan keseharian hidup masyarakat, menyebabkan gereja semakin mendapat tempatnya di dunia. Dampak lain dari keterbukaan ini, muncul para pemikir (teolog, filosof, ilmuwan) yang  dengan kritis-konstruktif memberi masukan kepada Gereja ketika menyikapi berbagai perkembangan dan perubahan di masyarakat. Bertolak dari masukan tersebut, Gereja selalu dapat merubah dirinya sesuai dengan tuntutan perubahan zaman, serta tetap menjadi lembaga yang memiliki komitmen dan konsistensi dalam mengadvokasi, mengakomodasi dan menfasilitasi kebutuhan dan harapan umat ketika berrelasinya dengan Tuhan dan sesama. Gereja jadinya harus selalu eksis sebagai tanda kehadiran Allah di tengah dunia dan senantiasa membawa keselamatan dan  perdamaian di muka bumi.


BACA JUGA:


            Fisikawan Einstein (1879-1955) menegaskan ‘ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta’ dan ‘agama tanpa ilmu pengetahuan adalah lumpuh’. Penegasannya, agama yang tidak berbasiskan pengetahuan akan cenderung mengalami ‘kebutaan’ dan rentan terjebak dalam alur spiritualisme, mitisisme, fasisme, radikalisme, ekslusivisme dan fundamentalisme. Ekstrim-ekstrim ini kerap kali menjajah rasionalitas dan intelektualitas sehingga dengan mudah menggiring umatnya pada praktik-praktik keagamaan yang tidak lazim dan di luar batas kewajaran. Karena tidak adanya saringan kritis, umat mudah digiring pada penghayatan yang ekstrim, kaku, tidak manusiawi, intoleran, berprasangka, berujar dan bertindak kebencian. Sebaliknya juga, bila iman disubordinasi oleh intelektualitas, maka ada kecenderungan glorifikasi berlebihan kepada pengetahuan (intelektualisme). Intelektualisme akan menjadikan masyarakat terkurung pada penghayatan dan penyelesaian masalah hidup secara positivistik dan rasionalistik semata, dan pada akhirnya membentuk sikap absurd, gamang, agnotis,  indiferen dan ateis. Sementara ada banyak hal di muka bumi ini yang tidak dapat diselesaikan dengan pengetahuan manusia semata, kecuali mengandalkan keyakinan pada sang Pemberi kehidupan. Ada banyak peristiwa miris kerusakan dan degradasi manusia di dunia ini, justru karena kaum intelektual terlalu memaksa diri untuk menyelesaikan proyek-proyek duniawinya hanya dengan bertumpu pada pengetahuan dan lupa akan keterbatasannya.

Sintesis yang dialogis antara agama dan pengetahuan akan melahirkan kecerdasan intelektual dan spiritual yang dapat membantu manusia agar bijak dalam menyikapi fenomena hidup kesehariannya. Agama menjadi penting dalam diri seorang intelektual demi membantu membangun kesadaran reflektif tentang keunggulan dan keterbatasan. Seorang intelektual perlu menyadari keunggulan agar semakin percaya diri dalam mengembangkan intelektualitasnya bagi kepentingan sesama dan keberlangsungan alam dunia. Namun, ia juga harus menyadari keterbatasannya, rendah hati dan bersyukur atas karunia intelektualitasnya itu sehingga ia semakin dicintai oleh Tuhan pemberi kemampuan tersebut.


Sementara itu, pengetahuan memberi landasan rasional terhadap penghayatan dan gerakan iman dalam agama. Pengetahuan membantu penganut agama untuk menjalankan iman secara kritis, dialogis dan inklusif  dalam membangun hubungannya dengan sesama dan Tuhan, agar terhindar dari kesesatan berpikir dan godaan kepentingan-kepentingan sesaat. Jika rasionalitas dan kritisitas diremehkan oleh institusi agama dan penganutnya, maka akan berujung pada dua sisi negatif. Sisi negatif pertama, bisa saja institusi agama dan penganutnya menjadi sangat fasis, eksklusif, sektarian, radikal dan fundamental, yang bisa meresahkan dan menganggu kenyamanan toleransi hidup beragama dan integrasi bangsa. Atau pada sisi negatif lainnya, bisa juga agama dan penganutnya menjadi sangat sekular, pragmatis, instan dan  artifisial semata, yang kemudian dengan mudah terjerembab  dalam konflik kepentingan, baik ekonomi, politik maupun ideologi sekular-pragmatis tertentu. Kita tidak mengharapkan dua sisi negatif membiak dan menjadi jamak, kemudian bisa mengancam kerukunan hidup beragama dan kesatuan bangsa yang sudah dipelihara dengan susah payah selama ini. 
***
















*) Tulisan ini sudah dipublikasikan di SKH Pos Kupang, Pada tanggal 19/11/2016.
ISI TULISAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS




OPINI: Sebaiknya Agama dan Pengetahuan Tetap Sejalan OPINI: Sebaiknya Agama dan Pengetahuan Tetap Sejalan Reviewed by www.surya.com on Maret 13, 2020 Rating: 5

1 komentar:

  1. Keren dan sangat bernas, semoga perjuangan untuk membawa Manggarai ke arah yang lebih baik diberkati Tuhan

    BalasHapus

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.