LETANGMEDIA

Sabtu Senja Mengubur Menelan Rasa Benci

Sabtu Senja Mengubur Menelan Rasa Benci

Maratapi keterbatasan adalah hal hampa dalam menjelajah kehidupan yang misteri. Ketakpastian akan hari esok adalah kesempatan mempesiapkan diri sejak dini di hari ini. Itulah hidup. Hidup yang selalu yang mempersiapkan. Hidup untuk selalu bersedia. Hidup yang selalu siap.

Terkait: Belajar Da Ri Anggota Tubuh Membangun Iklim Sosio-Harmonis( Interprestasi Kontekstual Ikor: 12: 12-31)

Hari ini adalah realitas. Keadaan saat ini bukanlah untuk ditangisi bila terbatas. Bukan untuk bersenang-senang bila berkecukupan. Namun semuanya adalah rahmat. Bila terbatas, itu bukanlah sebuah kutukan yang membawa ketakutan dan keresahan akan hari esok. Namun sebagai pacuan untuk terus bangkit memanfaatkan setiap jarum jam yang terus berputar. Sebaliknya berkecukupan bukanlah batu sandungan untuk memandang orang lain dari atas, namun sebagai saluran untuk belajar bersyukur, bela rasa, dan berdiri sama tinggi dengan orang lain.

[caption id="attachment_271" width="259" align="aligncenter"]sumber gambar: kompasiana.com ilustrasi. Kompasiana.com[/caption]

Itulah semangat dan kekayaan rasa yang dimiliki oleh seorang lelaki malang, yang akrab dengan panggilan Edy. Edy, namanya familiar bagi rekan-rekan sekolahnya pun di kampung halamannya. Anak yang family background serba terbatas melihat waktu sebagai kesempatan untuk menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain, bagi keluarga dan bagi keempat adiknya. Pribadi rajin, tekun, ulet, jujur dan sopan itu adalah mencontoh sikap dan ketekunan keluarganya. Alhasil peria yang bertubuh atletis itu selalu menjadi nomor satu di sekolahnya. Akan tetapi siswa yang berkulit sawo matang itu, tidak menjadikan kehebatannya sebagai alat untuk menciptakan kesombangan, dan keangkuhan dengan teman-teman-temannya. Pria yang sedang duduk di kelas II itu selalu menjadi penolong bagi teman-temannya bila ada kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan Rumah. Belajar kelompok, diskusi, mengerjakan tugas dalam kelompok belajar adalah jadwal tetap setiap malamnya bersama dengan teman-temannya. Edy adalah pribadi yang humoris dan murah hati yang selalu siap membantu teman-temannya yang membutuhkan bantuannya.

Terkai: Kec.Mbeliling: Aneka Tarian Dipentaskan cara Mewariskan Budaya

Kebaikan dan kepandaiannya tidak hanya mendapat banyak pujian, dari sahabat, guru dan anggoata keluarganya, tetapi juga rentetan ejekan. Baik dari teman-teman yang beseberangan dengannya maupun dari lingkungan sosial. Lantaran pria yang berambut lurus itu berasal dari keluarga yang sangat terbatas, bila ditanya soal finansial. Ejekan muncul dari lingkungan sosial, lantaran kedua orang tuanya tidak mempunyai pekerjaan tetap, berpenghasilan tergantung pada musim. Pesimisme orang-orang disekitar mereka memuncak saat adik pertamanya duduk dikelas tiga SMP, adik keduanya duduk dikelas satu SMP, adik ketiganya duduk di kelas enam SD, dan adik keempatnya duduk di kelas tiga SD. Kalimat yang sering terdengar di telinga keluarga tersebut mungkin seperti ini “alah, percuma deh, biar anak-anaknya pinter, tetap tidak bisa dilanjutkan ke Perguruan tinggi nanti, dan syukur kalau semuannya bisa tamat SMA. Pendapatan dari mana? Untuk membiayai mereka semua”

Pak Sito dan Ibu Siti tidak sedikit pun menaruh benci, apalagi marah bila mendengar ocehan itu. Mereka selalu tampil ramah, bekerja keras, dan selalu bahagia menikmati kehidupan yang mereka alami. Bagi mereka, biarlah orang lain meremehkan, pesimis dan benci dengan keluarga kita, toh bukan mereka yang menjalankan. Kita sendiri yang menahkodai kehidupan ini. Biarlah mereka setia dengan prasangka mereka sendiri, kita tetap teguh dan terus bekerja keras serta bahagia dengan apa yang telah kita miliki saat ini, sebab keluarga yang tidak kenal putus asa ini yakin, bahwa kerja keras dan usaha tidak pernah mengkianati hasil. Semangat dan sikap inilah yang mendarah daging dalam diri anak sulung mereka saat diejek oleh sebagian teman-teman sekolahnya.

Terkait: Sastra: Sosok Pembawa Rindu

Cimong, itulah nama temannya yang selalu pandai menciptakan konflik, kegaduhan, mengejek dan selalu membeci pria yang familiar itu. Bagi Cimong, merasa tergangu walau tidak digangu bila pria berhidung mancung itu selalu menjadi nomor satu pada setiap akhir semester, dan lomba lainya. Pribadi yang kaya ide pencipta konflik itu lahir dari keluarga yang ramah, santun dan serba berkecukupan. Segala kebutuhannya terpenuhi. Siswa yang berhobi memakai kaca mata gelap itu selalu meniatkan diri untuk berdiri bersama Edy saat pembacaan siswa juara umum di akhir semester. Namun sampai saat ini belum pernah terwujud. Setinggi langit harapannya, namun serata mata kaki usahaya. Tidak cekatan dalam usaha, selalu manghabiskan waktu untuk berambisi, mimpi dalam sadar tanpa menyadarkan diri untuk belajar, tidak tekun mengerjekan tugas-tugas sekolah dan tugas lainya. “berambisi atau bermimpi menjadi orang baik dan terbaik tanpa berusaha dan kerja keras adalah pribadi yang terlanjur terbawa arus mimpi dan ambisi, pribadi yang tenggelam dalam mimpi dan terlalu setia dalam ambisi serta lupa untuk sadar” Mungkin itulah kalimat yang cocok untuk menyatakan kepribadian Cimong. Sehingga tidak heran, jika nila ujiannya rata net, alias pas di angka kiteria ketercapain mimum. Itulah yang dia alami selama 3 semester.

Waktu terus berlalu, bulan terus berganti, kelas dan semester pun bertambah tibalah saatnya mereka berada di penguhujung kelas II yang ditandai dengan ujian kenaikan kelas. Edy dan teman-teman kelompok belajarnya bergembira karena sebentar lagi mereka duduk di kelas III. Duduk di kelas penghujung seragam putih abu-abu.

Dua minggu setelah ujian semester, tibalah saatnya pembagian rapor. Jantung bergetar cepat, lebih dari biasanya, rasa takut memuncak jauh dari biasanya, kaki dan tangan bergetar dan keringat tidak seperti biasanya menantikan jam 08.30 untuk pembagian rapor. Itulah keempat hari sabtu yang menakutkan, sdikit menantang adrenalin. Jam yang dinantikan telah tiba, guru-guru, kepala seokolah, dan murid-murid berkumpul di Aula sekolah. Acara demi acara telah dilalui, tinggal dua angenda penting, yakni pembacaan juara dan pembagian rapor.

Saatnya masuk ke agenda pembacaan juara. Nama Edy, terdengar sebagai juara umum. Tepukan tangan terdengar meriah, namun Cimong dan teman komplotannya yang duduk di sudut kanan ruangan aula itu selalu setia dengan rasa kebenciannya, bahkan sedang mencari cara untuk mencelakakan peria yang murah senyum itu. Rupanya, kebencian dan niatnya sudah berada pada titik jenuh.

Suasana aula sentak menjadi sepih. Gedung besar yang tadinya dimeriahkan dengan tepukan tangan menjadi beku, ketika Edy tidak menuju ke tempat yang paling depan setelah dipanggil dua kali. Ya seperti biasanya, yang juara dipanggil dan berdiri di tempat yang paling depan. Namun kali ini, pria itu tidak sempat menikmati suasana itu, kepala sekolah, guru-guru dan siswa-siswa bingung dan cemas. Karena tidak biasanya. Suasana Aula semakin kejam, serasa seperti semuanya kejang terbawa prasaan ketika salah satu petugas keamanan di sekolah itu meneruskan surat yang diterimanya dari anak yang berumur 14 tahun ke wali kelas. Dengan tangan yang gematar, Pak Wote menerima, membuka dan membacanya.

Air mata membasahi pipi pria itu saat membaca surat tersebut. Se-isi ruangan itu bingun dan cemas memuncak. Dalam keheningan yang membingungkan, terdengar dari sudut kanan ruangan itu seorang bersuara: Pak, dengan rendah hati dan penuh hormat, tolong bacakan isi surat itu di mike, kami semua penasaran. Mengapa bapak tiba-tiba menanggis? Apa yang sedang terjadi? Dan itu surat dari siapa? Usulan salah seorang siswa itu mendapat dukungan dari siswa-siswi yang berada di ruangan itu. Dengan tergesa-gesa pak Wote atas ijinan kepala sekolah membaca isi surat itu.

“Yth. Bapak Guruku.

Aku minta maaf atas ketidak sopanan saya ini. Saya tahu hari ini adalah hari Sabtu yang ke-empat sebagai hari yang istimewaku dengan teman-teman, sekaligus sebagai hari yang ditakutkan. Namun saat ini saya tidak dapat menikmatinya, saya tidak dapat bergembira dengan teman-temanku, saya tidak dapat menyaksikan serunya hari ini, saya tidak dapat bergembira dengan teman-temanku, saya tidak dapat melihat raut wajah yang senang, gembira dari bapak ibu guru dan teman-teman, saya tidak dapat menyubangkan tepukan tangan yang keras sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temanku saat ini.

Dengan tenaga dan semangat yang tersisa ini, ku menuliskan ini di tempat baringku. Dalam rasa dan resahku akan diriku hari ini, aku minta maaf yang sedalam-dalamnya. Hari ini aku masih terbaring di Rumah sakit, terbaring sedikit demi sedikit untuk membangkitkan lagi semangatku setelah menjalankan operasi beberapa hari yang lalu. Aku berjanji akan kembali berada bersama teman-teman, belajar bersama teman-teman, dan membersihkan halaman sekolah secara bersama dengan teman-teman.

Dari muridmu: Edy”



Air mata membajiri semua pipi yang ada di ruangan itu, Cimong pun ikut sedih, tapi tidak menangis. Mengalihkan suasana itu, kembali bapak kepala sekolah berdiri di Podium utama dan melanjutkan ke agenda terakhir, yakni pembagian rapor, yang dipandu dan dibimbing oleh Wali Kelas.

Semua agenda pun selesai. Baik teman kelas dan teman-teman belajarnya Edy pun naik kelas, termasuk sahabat setianya Roes. Sedangkan Cimong naik dengan nilai yang tidak memuaskan

Semua siswa mempresentasikan kebahagian mereka dengan menampilkan raut wajah yang cerah ceria. Namun Roes sahabat setianya itu tampak murung, sedih. Teman-teman kelasnya menghampiri pria yang berhidung macung itu. Salah satu dari mereka berani mengajak bicara, sebut saja Raes. Ro, mengapa kamu sedih? Kau kan naik kelas, juara tiga kelas lagi, sementara kami yang lain, naik kelas saja kamu sudah bangga dan bersyukur. Ayo dong Ro, semangat ! Semangat ! senyum dong!. Ajak Raes. Roes bangkit berdiri dan berbicara dengan penuh kewibawaan. Raes, kamu semua benar dan saya pun bersyukur. Namun ada hal lain yang membuat batin ini terpukul. Ini tentang sahabat saya, Edy. Kamu tahu kan? Biasanya kalau saat-saat seperti ini kita tertawa bersama, sedih bersama, bercerita bersama. Dan aku takut jika sesuatu hal yang terjadi diluar dugaan kita terjadi pada Edy.

Waduhhh...Roes, jangan pikir yang macem-macem lah. Kita berdoa kepada yang Maha Kuasa, agar Edy cepat sembuh. Kan Edy sendiri sudah janji, dia akan kembali bersama kita saat setelah selesai liburan nanti. Nah, sekarang kita semua ke Rumah sakit bersama Pak Wote. Mendengar sungguhan kata-kata itu, Roes pun kembali menampilkan senyuman khasnya.

Tepat pukul 15.00 tibalah mereka di Rumah sakit. Tidak disangka, pria yang selama ini menciptakan konflik dengan Edy, membeci Edy tanpa alasan, bahkan meniatkan diri untuk mencelakainya adalah orang pertama dari sekolahnya yang mengjenguk. Mereka terlihat sangat akrab. Teman-temannya lainya kaget. Bahkan tidak yakin dengan semua yang telah mereka lihat.

Ruangan itu pun dipenuhi canda tawa, dan Edy hanya mampu menyumbangkan senyuman untuk menampilkan pipi lesungnya.

Pukul 16.00 mereka meninggalkan ruangan itu, termasuk Cimong. Tepat di tempat parkir kendaraan Roda dua di Rumah sakit itu, Cimong duduk tertegun, matanya seolah-olah malu untuk menyatakan bahwa dirinya telah bersalah. Melihat itu, Roes pun, mendekatinya. Mong, kok kamu kelihatan sedih? Tanya Roes. Roes saya tahu, kamu adalah sahabatnya Edy, kamu semua pasti membenci saya, apalagi Edy. Saya bersalah terhadap kamu semua Ro. Jawab Cimong sambil membelakangi Roes dan teman-temannya.

Roes mendekatinya sambil menepuk bahunya dan berkata, Mong pikiranmu salah. Edy tidak pernah benci siapapun, bahkan dia tidak tahu kalau kamu sedang membencinya, kalaupun dia tahu, dia tidak akan menaruh dendam. Baginya, semua siswa-siswi di sekolah kita adalah keluarga, bahkan pelajar-pelajar di sekolah lain yang dia kenal diakuainya sebagai sahabat dan keluarga. Jadi sekarang kamu tidak boleh pikir yang macam-macam. Saat ini adalah awal persahabatan kita. Kita adalah keluarga, atau bagiama tema-teman. Roes menyakinkan Cimong dengan sumbangan kata-kata dari teman-temannya. Ya, lagian sekarang kita suadah kelas III, bulan Desember ujian semester, lalu April kita Ujian Nasional, lalu kita tamat, dari pada kita saling membenci lebih baik kita bersahabat, belajar bersama, dan diskusi soal-soal ujian nasional sebelumnya. Bagaimana? Tanya Raes. Asyikkkkkkk, sambung teman-temannya. Ayo...!!! sekarang kita pulang ke Rumah masing-masing, sampai ketemu di bulan depan.

Hari itu adalah lembaran baru bagi Cimong. Kini dia sadar, bahwa begitu banyak waktu dan kesempatan yang telah ia lalui dengan hal-hal yang tidak penting. Pria dan orang-orang yang selama ini dia benci, ternyata tak setitikpun berpikir seperti yang dia pikirkan. Di Sabtu petang itulah mereka membentang tali persudaraan, menanam benih-benih persahabatan dan memberikan tenaga mereka untuk menyatakan bahwa kita bisa, kita sukses, tanpa harus saling membenci, apalagi sampai beradu fisik (tawuran).

Senja di hari Sabtu , bekas-bekas kebencian terkubur bersama terbenamnya sang mentari. Lalu bangkit bersama sang fajar, menerbitkan sandi-sandi persahabatan dan kekeluargaan, menaburkan semangat demi menggapai cita-cita. B

Raca benci, dengki, iri hati dan penyesalan hilang bersama terebenamnya matahari. Hilang bersama senja yang yang berangsur-berangsur pergi dari cakrawala.
Kembali bersama fajar dan embun di pagi hari turut meneduhkan rasa dan prasaan diantara mereka. Rasa persaudaraan, kekeluargaan, memahami arti perbedaan, dan saling memaafkan.

Trimakasih senja di hari Sabtu.

Cerpen ini sudah dipublikasikan oleh www. florespost.co
Sabtu Senja Mengubur Menelan Rasa Benci Sabtu Senja Mengubur Menelan Rasa Benci Reviewed by www.surya.com on Oktober 17, 2017 Rating: 5

4 komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.