Sajak Untuk Ayah (Part I)
[caption id="attachment_547" align="alignnone" width="960"]

Ayah.
Lelaki tegar yang kukenal.
Pria hebat yang kulihat didamba sepanjang hayat.
Pria yang tak kenal lelah.
Demi secuil harapan untuk masa depan.
Ayah
Triknya mentari tak kau peduli.
Dinginnya hujan tak kau rasakan.
Pagi petang engkau membanting tulang.
Semua demi cinta dan janji sucimu.
Semua demi melihat buah hatimu senyum yang nyata.
Ayah
Engkau bermandikan keringat darah.
Setiap tetesan keringatmu terungkap harapan mulia untuk buah hatimu.
Cita-cita buah hatimu adalah semangat tanpa batas dalam setiap karyamu.
Ayah
Malam engkau beralaskan tikar.
Siang engkau tak bertopi atau berpayung.
Kaki tak beralas dalam setiap langkah.
Semua kau lakukan dengan senyuman dan kaya iklas.
Ayah.
Mengapa engkau begitu gigih melawan triknya mentari.
Mengapa engkau tidak taat pada keterbatasan.
Mengapa engkau biarkan ragamu ditelan mentari bara.
Mengapa engkau biarkan telapak kakimu tertusuk benda-benda alam.
Mengapa engkau biarkan nadi-nadimu tertusuk dinginya sang malam.
Pernah kutanya.
Bagi ayah, itu bukan jadi soal.
Biarkan anak-anakku terseyum.
Biarkan buah hatiku tidak jatuh dalam pengalamanku.
Setiap tetesan darah untuk menjawab harapan buah hatiku.
Setiap helai rambutku selalu menuliskan cita-cita putra dan putriku.
Kata ayah.
Anakku, walau aku tak mengandung dan tak menyusuimu.
Namun setiap tetesan keringatku hanya satu tujuan.
Semua kulakukan dalam ketulusan, kelak anakku tersenyum dalam kebahagian.
Ayah.
Hati teriris melihat ragamu yang dulu tegar.
Melihat rambutmu yang sekarang berubah menjadi uban.
Melihat tubuhmu yang dulu tegar, kini lemah ditelan waktu.
Namun semangatmu tak pernah pudar.
Ayah.
Sajak-sajakku tak cukup, lagi tak pantas untuk jasamu.
Penaku tak layak untuk menulis di atas keringatmu.
Bahkan hasil perjuangku tak sebanding dengan pedihnya deritamu.
Namun semua akan luar biasa hanya karena cintamu berkat karya-Nya.
Ayah.
Sadarkan kami akan cintamu.
Bila kami jatuh dalam hal yang salah.
Sapalah kami dalam ketulusanmu.
Bila kami pura-pura tak mengenalmu. Ampun.
Ayah. Ingatkan kami saat berada pada posismu.
[caption id="attachment_531" align="aligncenter" width="289"]

Menggugat Hati Lelaki Yang Tak Penah Lelah (Ayah Part II)
Ayah bagaimana caramu mendapatkan uang, beras?
Ayah mengapa engkau begitu gigih bekerja?
Ayah mengapa tubuhmu yang dulu kenjang, sekarang keriput?
Ayah mengapa rambutmu yang dulu hitam, sekarang memutih?
Terkait: Toga Ini untuk Cinta dan Ketulusanmu
Ayah mengapa engkau selalu pulang saat petang, dan berangkat lagi saat fajar?
Apakah tubuhmu tak lemas? Keringatmu yang terus mengalir saat trikan mentari?
Ayah mengapa engkau begitu rela kakimu tak bersandal atau bersepatu?
Mengapa kepalamu tak bertopi?
Ayah mengapa engkau begitu kejam dengan dirimu sendiri, berada di bawah kejamnya mentari, bermandikan hujan?
Ayah, mengapa engkau begitu kejam dengan dirimu sendiri? Ayah, ayah, ayah mengapa?
Mengapa?
Menyapa?
Apa yang kau cari ayah?
Anakku, engakulah harapanku.
Engkaulah permataku, engkaulah mentariku yang selelu menerangi dan membangkitkanku. Janganlah engkau tanya dari mana aku mendapatkan uang dan sesuap nasi.
Karena semuanya adalah tanggjawab kami.
Kami persembahkan semuanya hanya untuk kamu anakku. Halal.
Kami tidak menuntut supaya kamu membayar semuanya itu.
Kamu tersenyum dan bahagia itulah harta terbesar yang sudah kami miliki.
Senyumlah nak, bahagialah nak. Kebahagiaanmulah yang ku cari anakku.
***
Anakku, aku tidak merasakan hal itu keras.
Semua itu kulakukan dengan tulus dan ikhlas.
Supaya semua kita bisa menikmati kehangatan hidup.
Aku tidak peduli dengan tubuhku yang dulu tegar, rambutku yang dulu hitam.
Sebab hal yang saya perjuangkan adalah supaya seluruh anak dan keluargaku tidak menangis karena tidak dapat sesuap nasi.
Hatiku luka saat anakku tidak memiliki recehan.
Biar sedikit nak, yang penting halal, bermakna. Nak tersenyumlah.
Aku tidak mau kamu semua beban memikirkan itu.
Berdoalah nak supaya kami semua sehat.
Anakku, inilah aku. Aku bangga engkau memanggilku ayah.
Anakku, aku bangga saat engkau bersepatu, berjas dan berdasi, berbahagia dengan teman-temanmu.
Aku bangga. Karena engkau tetap memanggilku ayah,
walau ragaku lemas , kulitku yang keriput, rambutku yang beruban,
kakiku yang tak bersandal, pakaianku yang sangat kumu.
Engkau tetap mengakui aku, sebagai ayah.
Anakku, aku sungguh merasa hal yang luar biasa, saat engkau terus memanggilku Ayah.
Anakku, aku bangga, saat engkau tersenyum.
Karena itu semualah diriku (ayah) bangun lebih cepat, dipagi hari,
pulang lebih petang setiap hari.
Terkait: Ganda Manggarai
Aku bangga saat engkau lebih maju dari masaku,
karena itu semualah aku berani melawan triknya mentari,
membiarkan nadi-nadi tertusuk dinginnya sang malam,
membiarkan tubuh ini rebah di atas tikar tipis, membiarkan kaki tertusuk semak.
Anakku, walau aku tidak mengandung dan menyusui,
tapi setiap tetesan keringaku untuk menghadirkan senyuman dalam setiap langkahmu.
Anakku, sekarang aku tersenyum, karena setiap tetesan darah keringatku terjawab dalam ceria dan senyumanmu.
Setiap helai rambutku yang terus beruban, kini telah berbuah dalam langkahmu.
Anakku, biarkan air mataku terus mengalir menatap kebahagianmu.
Biarkan dalam lemasnya lutut ini untuk bergerak, melihat keberhasilanmu.
Anakku, janganlah bertanya lagi.
Kepalkan tanganmu untuk terus maju mengapai harapanmu. Harimu masih panjang.
Ayah (Part III)
Engkau tak kelah lelah
Keringat darah membasahi tubuhmu.
Pengorbananmu adalah semangatku dalam setiap kisah yang terlukis.
Semangatmu adalah susu dalam akalku. (FH/rojoklodok.wordpress.com)


Menggugat Hati Lelaki Yang Tak Penah Lelah
Reviewed by www.surya.com
on
Oktober 30, 2017
Rating:
[…] bACA JUGA: Menggugat Hati Lelaki Yang Tak Penah Lelah […]
BalasHapus[…] bACA JUGA: Menggugat Hati Lelaki Yang Tak Penah Lelah […]
BalasHapus