LETANGMEDIA

Muku Ca Pu’u Néka woléng Curup Téu Ca Ambo Néka Woléng Lako. Apa Maksudnya?

rojoklodok.wordpress.com-Fungsi bahasa yang adalah alat komunikasi, begitupun bahasa Manggarai. Bahasa Manggarai yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah pepatah dan atau ungkapan (go’ét). Goét muku ca pu’u néka woléng curup téu ca ambo néka woléng lako sebagai produk budaya Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu bukti sejarah tentang tingginya kecintaan para leluhur akan hidup yang solid, adil dan damai.

DSC04514.JPG

Selain itu, goét tersebut meningatkan generasi sekarang akan tertipnya para leluhur dalam membangun kehidupan bersama. Ketertiban tersebut berlandaskan pada pedoman-pedoman adat atau budaya. Pedoman-pedoman tersebut dirumuskan dalam beragam goét. Maka dengan demikian, goét dapat pula dikatakan sebagai norma.

Tingginya kesadaran untuk membangun kehidupan bersama yang nyaman berawal dari sikap saling peduli akan situasi atau persoalan yang merong-rong persatuan. Sebab persatuan dengan sesama adalah realitas sosial yang saling berelasi antar anggotanya dan bertanggungjawab dalam mencapai harapan bersama, karena itu relasi sosial yang harmonis ditata dan digerakkan dari akar rumput (Prior, 1993:138-139).

Baca: Pemimpin Peka

Hal ini telah ditunjukkan secara menarik oleh para pendahulu, yang dikenal dengan semangat lonto léok (duduk melingkar, duduk dengan posisi kaki bersila). Lonto léok sebagai ruang untuk menyelesaikan persoalan sosial secara adil. Keputusan diambil dengan memerhatikakan asal demokratis demi terciptanya persatuan yang solid. Sekarang lonto léok dapat (mungkin) disamakan dengan musyawarah-mufakat. Dengan demikian setiap persoalan yang melilit antar angota masyarakat tidak diputuskan secara sepihak.

Berawal dari arti muku ca pu’u nèka wolèng curup (pisang serumpun jangan berbeda pendapat, seia sekata)-teu ca ambo nèka wolèng lako (tebu serumpun jangan berbeda langkah) bahwa, setiap orang memelihara dan melestarikan persatuan. Dalam persatuan setiap pribadi merasa diri sebagai bagian yang tidak terpisahkan, ibarat pohon pisang yang hidup dalam satu rumpun.

Setiap warga klan/kampung berkewajiban untuk memelihara keharmonisan dan kebulatan dalam mencapai visi hidup bersama yang saling mendukung ibarat batang tebuh yang hidup serumpun (Mukese, 2012:121; Andur, 2004:1). Berada bersama orang lain disebut komunio sosial. Dari arti tersebut, dapat dikatakan, semangat atau roh ungkapan itu masih aktual di masa ini.

Bacar: Kec.Mbeliling: Aneka Tarian Dipentaskan cara Mewariskan Budaya

Artinya masyarakat lokal yang berbudaya berpijak pada budaya agar tercapainya nilai-nilai persatuan yang meretas di akar rumput. Nilai-nilai persatuan yang telah dibina pada masyarakat lokal adalah cikal bakal terwujudunya sikap solid, aman, tentram dan damai secara universal. Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai persatuan antar masyarakat akan lebih baik, bila diawali di akar rumput.

Baca juga  Satu Tubuh Banyak Anggota: Beragam Sebagai Kekayaan


Masyarakat akar rumput, sebagai basis lahir dan menyebarnya sikap toleransi antar sesama. Misi yang menjanjikan, bila di semua tempat, masyarakat akar rumput diperkuat dengan nilai-nilai persatuan dengan mengangkat budaya masing-masing, maka, bukan tidak mungkin segala isu radikalisme dapat ditepis dengan kekuatan budaya dan Undang-Undang yang sudah melekat dalam diri setiap orang.

Halnya masyarakat Manggarai sebagai akar rumput yang 100% Manggarai dengan kekayaan falsafah persatuan lokal, dan 100% warna negara Indonesia (100% masyarakat lokol 100% Warga Negara Indonesia).

Falsafah persatual lokal orang Manggarai adalah kekayaan yang selalu menjiwai kehidupan orang Manggarai disepanjang masa. Ungkapan ini pula menggerakkan setiap insan Manggarai untuk menghargai, mempertahankan dan mengaktualisasikan nilai-nilai persatuan lokal, sebagai tindakan dalam mempertahankan relasi yang solid dan harmonis antar sesama.

Persatuan solid digambarkan dalam ungkapan kimpur neho kiwung, cirang neho rimang, neho rimang rana, pateng wa wae worok eta golo «kimpur: tebal; kiwung: bagian yang keras dari batang enau; cirang: kuat, paten; ného: seperti, bagaikan; rimang: bagian yang kuat dari ijuk; rana: muda pertama; golo: gunung.

Filosofi persatuan sosial orang Manggarai menarik untuk dipertahankan dalam menanggapi berbagai persoalan hidup. Namun persoalan yang sering terjadi saat ini, selalu menghantam dan mengikis makna terdalam dari persatuan lokal tersebut.

Kemajuan cara berpikir dan cara kerja mengikis dan mengancam makna go’ét tersebut. Kerja gotong royong, seperti dodo/julu «dodo/julu: keja bergilir» mulai pudar.
Perbedaan pilihan saat pemilihan umum berdampak buruk pada komunitas keluarga yakni perpecahan «bike (perpecahan), toe tombo/jaong tau (tidak baku omong satu dengan yang lain) asé agu kae (antara adik dan kaka)». Informasi-informasi menggiurkan, seperti iklan tambang yang manis tanpa memberitahukan dampaknya akan meruncing kekacauan antara klan, karena perbedaan tafsir/analisa.

Kenyataan menunjukkan bahwa kehadiran tambang dapat merusak atau memunculkan konflik sosial. Hal ini dialami oleh setiap negara yang mengijikan ekspotasi pertambangan, termasuk Indonesia dan Manggarai khususnya. Kita sebut saja misalnya konflik horinsontal di Amerika Latin (Peru) dan Provinsi San Filipe de Jesus Mexisico yakni penindasan dan diskriminasi terhadap masyarakat yang memunculkan konflik sosial serta menghilangkan harapan hidup masyarakat setempat (Aman; 2014: 23-24).

Realitas tidak terbantahkan lagi dialami oleh rakyat Indonesia, lebih khusus wilayah yang mengijinkan pertambangan, dan NTT salah satunya. NTT adalah salah satu daerah yang memiliki potensi tambang yang berkualitas tinggi di dunia (Hasiman, 2014:75). Maraknya dinamika pertambangan tidak hanya meruncing krisis ekologis tetapi juga konflik sosial, sebagaima yang dialami oleh masyarakat Manggarai yang pernah diijinkan pertambangan (Hasiman, 2014:75-76;Witin, 2009:137-139).

Baca juga  Bocah Penakluk Gunung


Fenomena-fenomena tersebut harus sesegera mungkin ditemukan solusinya. Salah satunya adalah memperkuat masyarakat lokal sebagai akar rumput, membelajarkan masyarakat akan nilai-nilai kesatuan yang selaras dengan Undang-Undang. Oleh karena itu goét-goét sebagai kekayaan budaya Manggarai tidak sebatas pada pengucapan dan membukukan arti maknanya, tetapi harus menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari seluruh dimensi hidup untuk semua usia.

Sebab go’ét adalah roh yang menjiwai kebudayaan orang Manggarai, yang mengandung multi nilai demi terwujudnya kehidupan yang harmonis, sejahtera, bermoral, beriman dan berkosmis serta menggambarkan khasanah hati yang mendalam. Selain itu, agar go’ét tetap menjadi identitas orang Manggarai, sikap dan tindakan hidup terhadap alam harus dikendalikan dalam makna dan nilai luhur alam yang termakna dalam setiap ungkapan tersebut.

Salah satu goét yang menanamkan nilai persatuan adalah muku ca pu’u néka woleng curup téu ca ambo néka woléng lako. Muku berarti pisang; pu’u adalah pohon atau serumpun; curup: pembicaraan atau tutur; lako: jalan atau berjalan, sedangkan téu adalah tebu; ca: artinya satu, satu kesatuan, kesatuan yang tidak terpisahkan (pungkul ca ratép); ambo adalah ikatan serumpun, yang tidak terpisah, tidak dipisahkan, tidak boleh berpisah-pisah; néka (kata yang berkonotasi larangan) artinya jangan, sedangkan woléng adalah beda, berbeda, lain, berlainan, tidak sama (néka woléng: kalimat yang menunjukkan jangan berpisah atau jangan berselisihan, tidak boleh ada persaingan negatif dalam kehidupan bersama dan mengakui orang lain sebagai bagian dari kehidupannya).

Jadi secara etomologis go’ét muku ca pu’u néka woléng curup artinya pisang serumpun jangan berbeda pembicaraan atau pisang serumpun jangan berbeda tutur, pisang serumpun jangan berbeda pendapat; sedangkan go’ét téu ca ambo néka woléng lako artinya tebu serumpun jangan berbeda jalan atau tebu serumpun jangan cerai berai (Hemo, 1990: 224;bdk. Janggur, 2010: 135).

Dari segi pengertiannya ungkapan itu menggambarkan persatuan, kekompakkan, kesatuan gerak, kesatuan gagasan dan pandangan tentang kehidupan; anggota masyarakat atau keluarga diharapkan mempunyai pandangan yang sama terhadap kekompakan dan keutuhan, setiap pribadi harus menyadari, manfaat dan keutuhan kesatuan keluarga (Hemo, 1990:224).

Sementara dari segi pesan, pesannya adalah (1) memelihara, membina dan meningkatkan persatuan, kesatuan, keutuhan dan kekompakan; (2) mengembangkan dan meningkatkan sikap dan prilaku yang mempunyai wawasan dan pandangan yang sama terhadap kehidupan keluarga dan masyarkat; (3) menjaga dan memelihara keharmonisan hidup keluarga dan masyarakat dalam kehidupan sosial; (4) mengembangkan sikap dan prilaku, satu kesatuan pikiran, bahasa, gerak langkah, tindakan dan pandangan yang sama tentang usaha manusia dalam membina kelangsungan hidup keluarga dan masyrakat (Hemo, 1990: 225).

Baca juga  Pemimpin Yang Peka Dan Prihatin Terhadap Realitas  


Demi terwujudnya semangat dalam ungkapan tersebut, maka hal yang dihindari dan atau dilakukan adalah mengindarkan diri atau memutuskan rantai sikap dan tindakan yang mengancam nilai-nilai moral, menghindari segala bentuk tindakan yang memecahkan persatuan; pentingnya mengakomodir gagasan yang sama dalam menciptakan persatuan yang solid, yang diputuskan dalam musyawarah atau lonto léok; menghindari perbedaan pendapat yang meruncing permusuhan dan perpecahan; menyadarkan setiap anggota akan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam mempertahankan keutuhan persatuan; menyadarkan setiap anggota akan pentingnya hidup berdasarkan norma, ketentuan dan peraturan yang sudah disepakati (Hemo,1990:22-225-226), dan (6) menyelesaikan segala persoalan dengan secara demokratis dan lonto leéok atau musyawarah mufakat .

Berawal dari kodrat manusia sebagai makhluk berelasi, maka goét tersebut sebagai salah satu pedoman untuk mewujudkan persatuan sosial yang ideal. Relasi dengan diri sendiri menjadi hal yang sangat penting, sebelum aku sebagai pribadi berada bersama aku (pribadi) yang lain. Mengenal segala kemampuan dan kelemahan adalah jalan untuk bisa menempatkan diri dalam kehidupan bersama. Mengenal siapa saya bagi diri saya sendiri, siapa saya bagi orang lain dan siapa saya bagi alam adalah ketiga pertanyaan yang menggugah sekaligus menggugat diri sendiri untuk memahami diri dan orang lain bagi dirinya.

Hal ini akan menjadi penting bila berhadapan dengan kebudayaan Manggarai yang bersifat kolektif dan komunikatif. Keunikan setiap pribadi adalah dasar kekayaan dan kebesaran dalam komunio orang Manggarai, sehingga keterbukan dalam menghargai orang lain adalah sikap yang harus dipupuk untuk melamahkan egoistis (Sutam, 2012:172). Pentingnya persatuan lokal agar setiap pribadi dapat mengembangkan setiap potensi dirinya, yang pada giliranya setiap orang menanamkan semangat solidaritas (GS 53,2;57,2).

Pada akhir tulisan ini, kita menyadari bahwa goét muku ca pu’u néka woleng curup téu ca ambo néka woléng lako (dan goét lainya) sebagai salah satu rujukan dalam mengenal diri sebagai pribadi (relasi personal), membangun relasi dengan orang lain (relasi dengan sesama), dan rambu-rambu relasi dengan Tuhan (relasi religus) yang diwujudnyatakan dalam relasi social dan relasi ekologis.

Penulis adalah Jurnalis Tinggal di Ruteng.

Tulisan ini sudah dipublikasikan di laman: /www.floressmart.com.  /2017/10/18
Muku Ca Pu’u Néka woléng Curup Téu Ca Ambo Néka Woléng Lako. Apa Maksudnya? Muku Ca Pu’u Néka woléng Curup Téu Ca Ambo Néka Woléng Lako. Apa
Maksudnya? Reviewed by www.surya.com on Oktober 18, 2017 Rating: 5

1 komentar:

  1. […] BACA: Muku Ca Pu’u Néka woléng Curup Téu Ca Ambo Néka Woléng Lako. Apa Maksudnya? […]

    BalasHapus

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.