LETANGMEDIA

Kembali Ke Pancasila Untuk Menjadi Lilin Negeri

KEMBALI KE PANCASILA UNTUK MENJADI LILIN NEGERI


(Refleksi Pekan Pancasila)




[caption id="attachment_media-187" align="alignnone" width="5184"]CAMAT, MBELILING. FRANS SELATAN (49).JPG Ilustrasi: Siswa Kec. Mbeliling, Pada malam Perarakan bobor Menjelang 17/08/2017 (foto: Feliks)[/caption]

Masih kuat dalam ingatan kita, pada gerakkan seribu lilin di beberapa kota di Negeri ini. Termasuk di beberapa Kabupaten di Flores. Bahkan di belahan benua lain, ikut menyalakan lilin. Memang gerakkan itu, tak kala saat Ahok atau Basuki Chaja Purnama divonis bersalah kasus penistaan agama islam. Atas kasus itu, Gubernur non aktif DKI tersebut  dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh pengadilan Tinggi Negeri Jakarta, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari gerakkan seribu lilin tersebut yang patut direfeleksikan berkenaan dengan hari lahir 72 tahun lahirnya Pancasila.  Karena itu uraian ini mencoba untuk menjawab dua pertanyaan, pertama mengapa masyarakat Indosia bahkan luar negeri menyalakan lilin saat Ahok telah dinyatakan bersalah? Apakah hanya berhenti pada aksi nyalakan lilin? Apa tindakan kita agar lilin-lilin itu tetap menyala ? sehingga pada saat yang sama kita diarahkan untuk kembali pada Pancasila sebagai lilin banggsa yang tetap menerangi Negeri ini.cropped-slide21.jpg

Baca juga: Toga Ini untuk Cinta dan Ketulusanmu

Menyalakan seribu lilin tidak hanya membela Ahok yang kalah dalam Pilgub DKI atau membenci Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta yang menvonis Ahok bersalah, ataupun mebenci kubu yang menang dalam kompetisi Pilgub DKI. Mengalahkah itu semua, gerakkan seribu lilin sebagai panggilan nurani masyarkat Indonesia. Gerakkan nurani tersebut sebagai wujud masih tingginya harapan dan keriduan masyarakat akan pemimpin yang adil, jujur dan kredibel, serta masih kuatnya perhatian masyarakat akan pemimpin yang berjalan selaras amanat negara yang tercatat dalam undang-undang dan cita-cita Pancasila. Ditengah keriduan itu, Ahok dipandang sebagai figur “pemuas atau pembebas”. Ahok dapat memberikan layanan rakyat yang dapat memberikan kepuasan kepada rakyat, Ahok dapat membebaskan rakyat dari ketimpangan sosial akibat korupsi.  Kenyataan inilah yang memanggil setiap pribadi secara spontan untuk menyurakan kebenaran, di atas Undang-Undang dan Pancasila.  Karena itu, menyalakan lilin tidaklah semata-mata untuk Ahok, tetapi untuk menyatakan  penyesalan dan perhatian  rakyat kepada negara, bahkan dunia  akan tindakan-tindakan yang menelantarkan rakyat. Masih kuatnya kerinduan masyarakat akan pemimpin yang berani jujur, pemimpin yang tulus melayani rakyat, dan masih kuatnya kerinduan masyarakat akan demokrasi yang jujur tanpa tekanan, tokoh publik yang bersih, memperjuangkan nasib rakyat. Serta ungkapan penyesalan rakyat akan “manipulasi perjuangan” . Manipulasi perjuangan  adalah memperjuangkan mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk “menggemukkan” dompet sendiri. Korupsi, pembangunan yang menomorduakan kualitas adalah akibat dari manipulasi perjuangan, serta tindakan-tindakan politik yang  tidak menjujung tinggi keberagaman adalah manipulasi kesadaran. Praktek-praktek tersebut sudah jelas menyimpang dari kompas bangsa, seperti pancasila dan UUD 1945. Sebab dalam tataran ini, Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundan-udangan lain, memiliki koherensi antar sila, dan korespondensi dengan realitas sosial (Kompas, 30/5/2017).Slide1

Baca JUga: DISKUSI SPIRITUALITAS EKOLOGI

Kesadaran untuk membela kebenaran dan menghayati kebenaran sebagai sikap batin adalah gerakkan spiritual yang terus mengalir dalam diri. Kesadaran spiritual inilah yang menjadikan setiap orang untuk menjadi  lilin bangsa. Lilin yang terus menyala karena Pancasila membimbing setiap individu untuk menyanggupkan diri berada dalam sikap dan kesadaran keritis nasionalis.  Sebab tanpa kesadaran yang tinggi dan tangguh, keberpihakan sikap nasionalis akan teruji. Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa kesadaran sejati harus didasarkan pada realitas historis, budaya, trandisi bangsa, dan ajaran agama yang kita yakini. Dengan sikap kritis nasionalis dan kesadaran akan keberagaman, maka sekat-sekat antar suku, agama, dan budaya akan tumbang dalam mewujudkan demokrasi dan keadialan rakyat yang diperjuangkan dengan  kejujuran, kebenaran, keadilan dan supermasi hukum.  .

Kembali Ke Pancasila adalah Panggilan Menjadi Lilin Negeri

Apapun dan siapa pun kita, sudah menjadi sebuah kewajiban untuk menjadi lilin negeri. Menjadi lilin negeri adalah mengamalkan diri untuk negara dengan memihak pada kepentingan umum, memihak pada keberagaman, memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dengan demikian kita sudah kembali ke Pancasila sebagai “sumber cahaya” dari lilin-lilin itu. Kita tidak mungkin getol memperjuangkan keadilan, kejujuran, kalau diri kita sendiri berjalan diluar rel keadilan dan kebenaran. Kita tidak mungkin dengan lantang menyuarakan bela Pancasila, bela NKRI, bela UUD 1945, bela Bhineka Tunggal Ika, kalu kita sendiri justru menyimpang dari semua itu. Oleh karena itu, hemat saya, sangatlah dibutuhkannya relfeksi kritis nasionalis dalam diri setiap orang. Relfeksi kritis nasionalis adalah kesadaran (menyadarkan diri) secara total sebagai hasil dari evalusi diri. Indikatornya adalah sila-sila Pancasila dan Undang-undang. Dengan demikian sedikit-demi sedikit seluruh diri kita dan keputusan yang lahir dari mulut kita bersumber dari amanat Pancasila dan Undang-Undang. Mewujudkan harapan itu, ada bebarapa hal yang perlu dilakukan agar kita benar-benar menjadi lilin negari yang terus menyala, yaitu: Pertama, keluar dari sikap egois jalan halus menjadi lilin bangsa. Prasan menang sendiri, merasa diri sangat penting, merasa diri hebat adalah hal-hal kecil yang mungkin kita sendiri tidak sadar akibatnya. Hal ini menjadi sebuah persoalan ketika kita sendiri tidak menyadari ada dalam sikap-sikap tersebut, sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang biasa, ternyata menurut orang lain itu sangat fatal. Karena pada akhirnya sikap-sikap-sikap tersebut cendrung sulit menerima orang lain sebagai patner, sulit berkomunikasi dengan orang lain (tertutup), sulit mengakui kelebihan orang lain, dan sulit mengenal kelemahan diri. Sebab, kedamaian, kerukunan, solid dan solider dengan sesama adalah akibat dari mengenal kekurangan dan kelemahan diri, sehingga sanggup untuk menerima orang lain untuk berjalan bersama.

Baca Juga: Pemimpin Peka

Berkat sikap saling meneriama yang dibangun oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum penjajahan menumbangkan sekat-sekat pemisah antarkomunitas. Ini adalah salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia telah menjadi lilin yang terus menyala bagi orang lain, sehingga akibatnya ada kedamaian, ketentaram dan saling percaya serta saling mendukung yang tinggi antarkomunitas. Karena itu Soekarno mendalami dan merumuskan semua kehidupan harmonis yang diamalkan oleh setiap warga Negara di masa lampau  agar tetap ada, yang kita sebut saat ini Pancasila.  Nilai kekeluargaan, gotong royong, menghargai perbedaan adalah hal vital yang hidup di wilayah Nusantara. Prinsip-prisip keterjalinan itu sudah ada di Nusantara jauh sebelum penjajahan. Karena di seluruh tanah Nusantara telah tersebar, dan hidup berbagai suku, agama dan ras.   Adreas D. Bolo(dlm. Dwikoratno, dkk “ed”, 2012: 53-54) dalam artikelnya mncatat bahwa penyebaran penduduk Nusantara terjadi dalam dua gelombang pertama sejak 4.000 SM kedua 2.000 SM, sebagaimana yang ditemukan dalam prasasti ke-4 Masehi, bahwa Nusantara merupakan wilayah dengan pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal. Sehingga Soerkarno mengatakan Pancasila sebagai permata yang lahir dari bumi Indonesia.

Kedua. Memperjuangkan nurani dan selalu peka.  Pembentukan nurani adalah tanggunjawab seumur hidup. Hati nurani perlu dibentuk dan terus digerakkan  dengan mengarahkan diri untuk selalu peka terhadap kebenaran dan keadilan, menolak dan menjauhkan diri dari kesombongan dan kepuasan diri. Memperjuangkan nurani adalah melawan rasa egois, membebaskan diri dari  perasan bersalah palsu, membebaskan diri untuk mengorbankan yang lain, demi kepentingan yang lain dan demi kepentingan diri sendiri.  Dengan demikian kiat-kiat memperjuangkan hati nurani dan mengarahkan diri untuk peka dalam memerangi segala bentuk sikap intoleransi, ketidakadilan adalah mempertajam pisau analisis kritis yang berbasiskan Pancasila dan kesadaran nasionalis.

Ketiga. Refleksi hingga hari ini. Refleksi dari masa lalu hingga hari ini adalah tindakan melihat dan mendalami historis bangsa, dari segi keragaman budaya, agama, suku dan ras.  Sebuah kebanggaan bahwa keberagaman di Indensia bukan ada setelah kemerdekaan, tetapi kemajemukan itu ada sebelum penjajahan. Artinya masyarakat Indonesia telah dibiasakan untuk hidup dalam iklim pluralisme, serta kebiasan gotong royong sebagai jaminan terciptanya kerukunan di masa itu. Menyadari keterjalinan antar komunitas yang sudah lama ada di Indonesia  Ir, Soekarno dalam pidatonya (1 Juni 1945) mengatakan, “..Aku bukan pencipta Pancasila, Pancasila itu lahir dan hidup di bumi Indonesia..” (Roza, dkk.2015:18)

Kenyataan ini menunjukan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang kita kenal sekarang bukan diciptakan secara dadakan atau hafalan, tetapi bersumber pada historis dan perjuangan bangsa. Sekurang-kurangnya ada dua manfaat dari  relfeksi ini. Partama sebagai kesadaran moral untuk menghargai perjuangan dan cita-cita para pendahulu bangsa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ir. Soekarno “Jas Merah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Kedua, refleksi ini untuk mengetahui dan menyadari bahwa generasi kita saat ini sebagai estafet dari kebaragaman itu yang terus dipelihara sebagai kekayaan bangsa. Dengan demikian kesadaran ini pula menguatkan kesadaran kita untuk tetap dan selalu berpacu pada Pancasila sebagai dasar dalam membanggun persaudaran dan kesatuan antar sesama.

Keempat. Orang tua membiasakan anak-anak untuk mendengar cerita sebelum tidur. Ini mungkin hal kecil yang sering disepelekan. Tapi, mari kita lihat kebiasan orang tua kita dulu yang pandai menceritakan dongen kepada anak-anaknya atau kepada cucunya. Hemat saya cerita ini sangat bermakna, dan cara terbaik untuk mengajarkan moral kepada anak-anak. Artinya, bagaimana orang tua menceritakan secara menarik dengan bahasa yang mudah di pahami oleh anak-anak tentang kisah penjajahan, perjuangan bangsa Indonesia, kisah kerajaan Maja Pahit, Sriwijaya dan raja-raja yang ada pada masa itu sampai pada perumusan Pancasila, serta kemerdekan. Kebiasan ini pula sangat membantu mengembangkan aspek kognitif anak.

Keenam. Mata Pelajaran Pancasila.  Dalam kurikum pendidikan kita memang secara umum menekankan karakter anak didik. Baik mata pelajaran Agama maupun PPKN. Akan tetapi yang saya maksudkan di sini adalah mata pelajaran khusus untuk mengenal kepada anak didik tetang karakter bangsa yang berbedoman pada Pancasila (syukur juga kalau naman mata pelajaran Pilar Bangsa).  Hal ini sangat penting, agar generasi bangsa mengenal secara mendalam nilai-nilai pancasila, dan keterkaitan angtar sila dalam kehidupan sosial.

Ketujuh. Menghargai identitas masing-masing. Manusia dilahirkan dengan cirinya masing-masing, unik dan kaya akan indentitas. Keunikan masing-masing ini menjadi kekayaan dalam membangun relasi. Manusia dalam mempertahankan hidupnya tidak terlepas dari relasi horizontal (religious), relasi vertikal (sosial). Manusia beriman adalah priabadi yang menjawab panggilan Allah dan berbakti kepada-Nya. Jawaban dan sikap bakti itulah yang disebut Iman. Relasi manusia dengan Allah ( relasi horizontal) harus dinyatakan dengan relasi yang bijaksana dengan sesame (relasi vertikal). Relasi horizontal harus menjadi pedoman dalam membangun relasi vertikal yang harmonis. Iman itu, dinyatakan dalam relasi dengan sesame. Bahkan menjadi sumber terwujudnya hubangan harmonis. Irenius dari Lyons, seorang pemikir abad ke 2/3  menuliskan “Gloria enim Dei vivens homo-kemulian Allah nyta atau hadir dalam kehidupan manusia” (Djunatan, dlm dlm. Dwikoratno, dkk “ed”, 2012: 127-128). Gagasan ini mau menekkah bahwa relasi manusia harus mengarah pada kemulian Allah, jika manusia, dengan manusia lain saling musuh, maka Tuhan yang diimani tidak dimuliakan oleh umat-Nya. Kekuatan relasi tersebut dapat menumbangkan batas pemisah satu dengan yang lain, seperti ras, agama, suku, etnis, dan bahasa, serta keunikan setiap pribadi.  Bahkah relasi manusia tidak terbatas pada manusia antar manusia, tetapi juga manusia dengan alam, yang disebut relasi sosio-ekelogis.  Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia dengan keunikannya masing-masing tidak dapat terlepas dari tiga relasi itu, yakni relasi religius, sosial dan sosioekologis.

Kenyataan menujukkan bahwa kamajemukan atau pluralism (the fack of pluralism) bukan menjadi kekayaan  yang dimusnakan setelah rumusan bangsa demokratis, adil dan kedaulatan rakayat selesai, tetapi hal vital yang selalu menjadi dasar dalam memperjuangkan keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan keamaanan negara. Demokrasi dan berdaulat dinyatakan secara mutlak dalam berbagai rumusan yang menciptakan keadilan sosial yang menyata, tanpa diskriminasi.

Kadaulatan rakyat yang dirumuskan secara demokrasi harus ditunjukkan dan merangkum keberagaman suku, agama, budaya; yang pada akhirnya mengafirmasi keadilan universal. Hal itu tidak akan  tidaklah mungkin terwujud tanpa memperhatikan pluralisme masyarakat. Demokrasi yang menitikberatan prinsip kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat harus memperhatikan dan mengharuskan sikap saling percaya (mutual trust), saling menghargai (mutual respect) yang dipayungi dengan tujuan lebih besar, yaitu keadilan masyarakatt umum. Bukan kelompok, suku, dan agama tertentu dalam merumuskan dan menciptakan serta menentukan cita-cita nasional dan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan berbenegara yang merdeka dan berdaulat.

Prinsip-prinsip  tersebut sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) yakni melindungi dan merangkung seluruh suku, agama, kekududukan, Ras yang berhak diakui sebagai warga negara dalam memenuhi kebuhtuhab dan kehidupan yang sederajat sebagaiman yang dirumuskan dalam setiap sila Pancasila sebagai nama negara. Dalam agama Budha sila yang berate moralitas, dan dalam konteks Pancasila sila bermakasud dan berorietasi pada melindungi dan mencegah orang lain atau individu yang menciptakan penderitaan bagi orang lain.( Feliks Hatam//rojoklodok.wordpress.com)

***

Artikel ini sudah dipublikasikan pada kolom aspirasi  Harian Umum Florespos

Slide1
Kembali Ke Pancasila Untuk Menjadi Lilin Negeri Kembali Ke Pancasila Untuk Menjadi Lilin Negeri Reviewed by www.surya.com on Oktober 23, 2017 Rating: 5

3 komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.