LETANGMEDIA

Anak-Anak Penakluk Gunung: Triakan Selamat Hardiknas

Anak-Anak Penakluk Gunung
Oleh: Feliks Hatam



Lon adalah salah satu dari 10 anak di kammpung itu yang memiliki semangat menggapai mimpi. Mimpi mereka tidak pernah pudar, walau tatapan mereka terhalang gunung raksasa itu. Gunung itu memisahkan pandangan mereka akan wajah kedua orang tua mereka. Lon, dan anak-anak usia enam tahun di kampung itu harus berpisah dari pelukan orang tua, demi cita-cita untuk mendapatkan pendidikan.

Mereka adalah anak dusun, kampung mereka dikelilingi gunung yang dilindungi negera. Poho-pohon di hutan yang dijamin keutuhannya dalam setiap paragraf undang-udang negara menjadi saksi bisu akan pendihnya prasaan mereka, baik di kala musim kemerahu maupun di musim hujan.



Suara burung-burung, angin hutan yang tidak pernah dinodai oleh karya manusia, air alam yang belum pernah dikotor oleh aktivitas kreatif manusia menjadi hal biasa bagi semua orang di kampung itu, dan mungkin akan menjadi hal luar biasa bagi orang-orang yang setiap harinya hanya mendengar kelakson kendaraan, melihat gedung bertingkat, dan menghirup udara yang dicampuri oleh hasil kreasi manusia.

Ayunan dedaunan yang bermusikan anggin seakan berkata “mereka bukan anak biasa, mereka bukan generasi yang diragukan, mereka adalah anak kampung yang patut diperhitungkan, semangat juang mereka adalah harta yang tersimpan oleh negeri ini di ujuang Timur”.



Ada tangis dikala pertama meninggalkan orang tua untuk mendapat stutas siswa di sekolah dasar pada sekolah yang ada di kampung tetangga, yang dibatasi oleh hutan dan gunung milik negara.

“Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini” Kata Theresa sambil menghapus air mata yang terus mengalir dari mata anaknya. Lon menganggukan kepala dan berusaha memahami setiap kalimat yang ucapkan oleh sang ibu.

“Mama, kakiku masih kecil dan belum kuat untuk mendaki gunung itu” Sahut anak sulung itu kepada kedua orang tuanya dalam nada datar. “aku belum tahu masak, belum tahu cuci pakayan, mama. Siapa yang cuci pakianku nanti? Tanya Lon sambil memegang pakian seragam sekolahnya. “Lon, nantikan kau tinggal di rumanya bapak Ton dan mama Lia, mereka semua baik, mereka sudah kasih tahu kepada kami, untuk membantumu masak dan cuci pakian” pesan sang ibunda untuk menyakinkan anaknya. Kata sang ibunda dibenarkan oleh sang ayah dengan annggukan kepala dan senyuman lebar sambil menepuk bahu anaknya membuat Lon yakin akan semuanya baik-baik adanya.




Harinya sudah tiba, Lon dan anak-anak di kampung itu harus meninggalkan orang tua, dan siap melintasi gunung. Ada wajah yang tidak dapat dibohongi oleh prasaan, ada wajah yang dengan jelas meggambarkan kesedian dengan air mata yang selalau membanjiri pipi. Tidak ada suara, bisu sekejab, hanya air mata yang terus mengalir, saat melihat kaki anak-anak mereka langkah dengan pasti meninggalkan kampung, melangkah dengan kebranian melintasi gunung dan bukit-bukit kecil yang disertai lembah.




Lingkungan baru, wajah baru, dan keluarga baru membuat Lon menetaskan air mata. Tidak ada kata verbal yang diucapkan, hanya menganggukkan dan menggelangkan kepala bila ada pertanyaan dari bapak Tom dan Ibu Lia sebagai “orang tua” barunnya di kampung yang dekat dengan sekolah tersebut.

“Lon, ini kamar tidurmu, sekarang kamu boleh tidur, dan harus selalu bangun pagi” kata Ibu Lia dalam nada datar dan halus sambil menghantarkan Lon ke tempat tidur. Lon, memandang sekilas wajah ibu barunya sambil mengangguk.

Air mata seakan tak bisa dibendung, perasaan tidak bisa dibohongi saat ia kembali mengingat suasana di rumahnya. Matanya enggan terpejam, saat mengingat kembali kebiasaanya sebelum tidur yang selalu ada tawa bersama bapa dan mama, ada aksi manja yang mencuri hati orang tuanya.

Hati dan prasaanya seakan menggumpulkan rasa nggatuk saat ia kembali mengingat pesan sang ibunda “Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini”

Pagi pertama hari masuk sekolah sudah tiba, ada suara asing yang muncul di depan pintu kamarnya “Lon, bangun! Siap pergi sekolah! Suara ibu Lia yang sedang berdiri di pintu kamar tidurnya. “Ya bibi” sahut Lon dalam nada datar dan serak. “ayo, cepat, sekarang sudah jam 06.00, nanti kamu terlambat, apalagi ini hari pertamamu masuk sekolah” kata bu Lia dalam nada menyakinkan dan meyemangatinya. Lon, hanya bisa menganggukan kepala. “Sebelum berangkat ke sekolah, harus sarapan” kata bu Lia yang sudah mempersiapkan sarapan.




Semangat meretas cita-cita, walau melintasi bukit, walau meninggalkan orang tua dalam usia enam tahun, adalah hal yang tidak masuk akal bagi sebagian orang yang sudah merasakan sedikit kemajuan, seperti pelayanan pendidikan yang dekat dengan adanya sekolah, pelayanan kesahatan dengan adanya puskesmas, dihantar dengan motor oleh orang tua saat pergi sekolah.

Semua kemewahan itu mustahil di alami oleh Lon dan anak-anak yang dilahirkan di kampung yang jauh dari kata kemajuan. Tapi mustahil juga bagi anak-anak di kampung itu untuk tidak mendapatkan pendidikan. “Ya, mungkin ada yang mengatakan, samangat mewujudkan mimpi adalah kemewahan anak-anak itu, motivasi mereka adalah harta negeri ini”


Kaki kecil anak-anak di kampung ini seakan dibentuk dan terbiasa melintasi gunung yang memisahkan dengan kampung tetangga, tempat mereka mengais ilmu. Prasaan dan sifat kemandirian anak-anak di kampung ini dibentuk oleh keadaan dan situasi. Tidak ada kesempatan orang tua untuk mengajarkan mereka mandiri. Tetapi situasi dan kesempatan ada untuk mereka belajar mandiri. Rasa pantang menyerah seakan tumbuh dalam diri mereka saat melintasi gunung dan lembah itu.

Tidaklah heran, bila Lon dan anak-anak dari kampung yang dikelilingi oleh gunung-gunung itu disebut anak-anak penakluk gunung. Karena semangat mencapai mimpi, kebranian melintasi gunung, dorongan untuk berusaha agar bisa berdiri dan duduk bersama orang lain yang dibersarkan ditengah kemajuan, seakan ingin mengatakan “ kami memang dari kampung, tetapi semangat dan daya juang kami bukan kampungan. Kami anak dusun, tetapi setiap langkah kami tetap menyusun harapan bersama membangun negeri. Kami anak dusun yang mungkin luput dari perhatian, tetapi semangat kami untuk berdiri dan duduk bersama di pendidikan adalah misi kami juga”

“Kami anak dusun dari Timur, titip salam Salam pendidikan di Hari Pendidikan Nasional”
Anak-Anak Penakluk Gunung
Oleh: Feliks Hatam

Lon adalah salah satu dari 10 anak di kammpung itu yang memiliki semangat menggapai mimpi. Mimpi mereka tidak pernah pudar, walau tatapan mereka terhalang gunung raksasa itu. Gunung itu memisahkan pandangan mereka akan wajah kedua orang tua mereka. Lon, dan anak-anak usia enam tahun di kampung itu harus berpisah dari pelukan orang tua, demi cita-cita untuk mendapatkan pendidikan.
Mereka adalah anak dusun, kampung mereka dikelilingi gunung yang dilindungi negera. Poho-pohon di hutan yang dijamin keutuhannya dalam setiap paragraf undang-udang negara menjadi saksi bisu akan pendihnya prasaan mereka, baik di kala musim kemerahu maupun di musim hujan.

Suara burung-burung, angin hutan yang tidak pernah dinodai oleh karya manusia, air alam yang belum pernah dikotor oleh aktivitas kreatif manusia menjadi hal biasa bagi semua orang di kampung itu, dan mungkin akan menjadi hal luar biasa bagi orang-orang yang setiap harinya hanya mendengar kelakson kendaraan, melihat gedung bertingkat, dan menghirup udara yang dicampuri oleh hasil kreasi manusia.
Ayunan dedaunan yang bermusikan anggin seakan berkata “mereka bukan anak biasa, mereka bukan generasi yang diragukan, mereka adalah anak kampung yang patut diperhitungkan, semangat juang mereka adalah harta yang tersimpan oleh negeri ini di ujuang Timur”.

Ada tangis dikala pertama meninggalkan orang tua untuk mendapat stutas siswa di sekolah dasar pada sekolah yang ada di kampung tetangga, yang dibatasi oleh hutan dan gunung milik negara.

“Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini” Kata Theresa sambil menghapus air mata yang terus mengalir dari mata anaknya. Lon menganggukan kepala dan berusaha memahami setiap kalimat yang ucapkan oleh sang ibu.

“Mama, kakiku masih kecil dan belum kuat untuk mendaki gunung itu” Sahut anak sulung itu kepada kedua orang tuanya dalam nada datar. “aku belum tahu masak, belum tahu cuci pakayan, mama. Siapa yang cuci pakianku nanti? Tanya Lon sambil memegang pakian seragam sekolahnya. “Lon, nantikan kau tinggal di rumanya bapak Ton dan mama Lia, mereka semua baik, mereka sudah kasih tahu kepada kami, untuk membantumu masak dan cuci pakian” pesan sang ibunda untuk menyakinkan anaknya. Kata sang ibunda dibenarkan oleh sang ayah dengan annggukan kepala dan senyuman lebar sambil menepuk bahu anaknya membuat Lon yakin akan semuanya baik-baik adanya.




Harinya sudah tiba, Lon dan anak-anak di kampung itu harus meninggalkan orang tua, dan siap melintasi gunung. Ada wajah yang tidak dapat dibohongi oleh prasaan, ada wajah yang dengan jelas meggambarkan kesedian dengan air mata yang selalau membanjiri pipi. Tidak ada suara, bisu sekejab, hanya air mata yang terus mengalir, saat melihat kaki anak-anak mereka langkah dengan pasti meninggalkan kampung, melangkah dengan kebranian melintasi gunung dan bukit-bukit kecil yang disertai lembah.




Lingkungan baru, wajah baru, dan keluarga baru membuat Lon menetaskan air mata. Tidak ada kata verbal yang diucapkan, hanya menganggukkan dan menggelangkan kepala bila ada pertanyaan dari bapak Tom dan Ibu Lia sebagai “orang tua” barunnya di kampung yang dekat dengan sekolah tersebut.

“Lon, ini kamar tidurmu, sekarang kamu boleh tidur, dan harus selalu bangun pagi” kata Ibu Lia dalam nada datar dan halus sambil menghantarkan Lon ke tempat tidur. Lon, memandang sekilas wajah ibu barunya sambil mengangguk.

Air mata seakan tak bisa dibendung, perasaan tidak bisa dibohongi saat ia kembali mengingat suasana di rumahnya. Matanya enggan terpejam, saat mengingat kembali kebiasaanya sebelum tidur yang selalu ada tawa bersama bapa dan mama, ada aksi manja yang mencuri hati orang tuanya.

Hati dan prasaanya seakan menggumpulkan rasa nggatuk saat ia kembali mengingat pesan sang ibunda “Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini”

Pagi pertama hari masuk sekolah sudah tiba, ada suara asing yang muncul di depan pintu kamarnya “Lon, bangun! Siap pergi sekolah! Suara ibu Lia yang sedang berdiri di pintu kamar tidurnya. “Ya bibi” sahut Lon dalam nada datar dan serak. “ayo, cepat, sekarang sudah jam 06.00, nanti kamu terlambat, apalagi ini hari pertamamu masuk sekolah” kata bu Lia dalam nada menyakinkan dan meyemangatinya. Lon, hanya bisa menganggukan kepala. “Sebelum berangkat ke sekolah, harus sarapan” kata bu Lia yang sudah mempersiapkan sarapan.




Semangat meretas cita-cita, walau melintasi bukit, walau meninggalkan orang tua dalam usia enam tahun, adalah hal yang tidak masuk akal bagi sebagian orang yang sudah merasakan sedikit kemajuan, seperti pelayanan pendidikan yang dekat dengan adanya sekolah, pelayanan kesahatan dengan adanya puskesmas, dihantar dengan motor oleh orang tua saat pergi sekolah.

Semua kemewahan itu mustahil di alami oleh Lon dan anak-anak yang dilahirkan di kampung yang jauh dari kata kemajuan. Tapi mustahil juga bagi anak-anak di kampung itu untuk tidak mendapatkan pendidikan. “Ya, mungkin ada yang mengatakan, samangat mewujudkan mimpi adalah kemewahan anak-anak itu, motivasi mereka adalah harta negeri ini”

Kaki kecil anak-anak di kampung ini seakan dibentuk dan terbiasa melintasi gunung yang memisahkan dengan kampung tetangga, tempat mereka mengais ilmu. Prasaan dan sifat kemandirian anak-anak di kampung ini dibentuk oleh keadaan dan situasi. Tidak ada kesempatan orang tua untuk mengajarkan mereka mandiri. Tetapi situasi dan kesempatan ada untuk mereka belajar mandiri. Rasa pantang menyerah seakan tumbuh dalam diri mereka saat melintasi gunung dan lembah itu.

Tidaklah heran, bila Lon dan anak-anak dari kampung yang dikelilingi oleh gunung-gunung itu disebut anak-anak penakluk gunung. Karena semangat mencapai mimpi, kebranian melintasi gunung, dorongan untuk berusaha agar bisa berdiri dan duduk bersama orang lain yang dibersarkan ditengah kemajuan, seakan ingin mengatakan “ kami memang dari kampung, tetapi semangat dan daya juang kami bukan kampungan. Kami anak dusun, tetapi setiap langkah kami tetap menyusun harapan bersama membangun negeri. Kami anak dusun yang mungkin luput dari perhatian, tetapi semangat kami untuk berdiri dan duduk bersama di pendidikan adalah misi kami juga”

“Kami anak dusun dari Timur, titip salam Salam pendidikan di Hari Pendidikan Nasional”
Anak-Anak Penakluk Gunung: Triakan Selamat Hardiknas Anak-Anak Penakluk Gunung: Triakan Selamat Hardiknas Reviewed by www.surya.com on Mei 02, 2018 Rating: 5

1 komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.