LETANGMEDIA

Perwata (an) Menunggangi Kepentingan Kristus

«Catatan Seminar Nasional Puncak Tahun Pewartaan keuskupan Ruteng»




 

Pewarta (an) Menunggangi Kepentingan Kristus

Oleh: FH.Benediktus




“Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu, sebab aku sendiri akan memberimu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditenteng atau dibantah oleh lawan-lawanmu”” (Luk 21:13-15)



““Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Maz 119:105)” adalah tema seminar nasional dalam rangka pekan puncak tahun pewartaan keuskupan Ruteng. Tahun 2017 ditetapkan sebagai tahun pewartaan melalui sinode III (2013-2015) Keuskupan Ruteng. Banyak kegiatan yang dilaksanakan saat pekan puncak tahun pewartaan tersebut, seperti kuis kitab suci, lomba paduan suara, seminar nasional, dan lain-lain. Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Maz 119:105) adalah modal dari seluruh program dan gerakan pastoral keuskupan Ruteng yang telah dilaksanakan bersama umat dalam berbagai program pastoral selama tahun 2017. Kata kordinator panitia seminar Romo. Frederik Maigahoaku Djelahu, Pr saat memberikan sambutan (8/12/2017)

Seminar nasional yang dilaksanakan tanggal 8 Desember 2017 di Aulla missio Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Santu Paulus adalah kerjasama Pendidikan Teologi dengan panitia Puncak tahun Pewartaan 2017. Hadir sebagai pemateri adalah Pater. John Mansford Prior. SVD dengan judul makalah “Menjadi Gereja pewarta Firman di Tengah Arus Zaman” dan Pater Peter C. Aman, OFM dengan judul makalah “Merajut Kesatuan dan Merawat Kebinekaan: Tantangan Gereja Katolik ke Depan”. Seminar yang dimeriahkan oleh Unit Kreatiftas Mahasiswa (UKM) seni dan bengkel budaya STKIP adalah Para Vikjen se-Keuskupan Ruteng, Pastor Paroki, ketua DPP dan Seksi pewartaan Se-Keuskupan Ruteng, tokoh pemerintah, para imam, suster, bruder dan Frater, utuasan mahasiswa STKIP Santu Paulus Ruteng dan STIPAS Santu Srilus Ruteng, ketua Yayasan Santu Paulus, ketua STKIP dan STIPAS, dan para dosen, serta tamu undangan lainnya. Seminar tersebut diakhiri dengan kegiatan shering pengalaman iman dari dua biarawan yaitu Pater. Yan Juang, SVD, Sr. Franselin, S.SpS, dan katekis ibu Bernadeta Dudet.

Mewartakan sebagai kesempatan agar iman dinyatakan. Dinyatakan dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut oleh Pater John M. Prior sebagai kesaksian iman. Kristus telah mengutus para Rasul untuk mewartakan kebenaran agar setiap yang percaya diselamatkan (Mat.18:19-20). Gereja didorong oleh Roh Kudus secara terus menerus mengustus para pewarta agar rencana Allah yang menyelamatkan manusia terlaksana (LG.17). Semua orang yang percaya dan telah dibabtis mempunyai tanggungjawab untuk mewartakan. Iman adalah jawaban atas panggilan Allah. Jawaban bebas manusia direalisasikan dalam sikap, tindakan, dan dalam relasi lintas bantas. Paulus menulis “celakalah aku, jika tidak mewartakan injil” ( Ikor 9:16). Firman Tuhan yang telah dituliskan dalam kitab suci akan dan terus aktual di sepanjang masa. Namun kepekaan pewarta terhadap perkembangan zaman menjadi kunci agar pewartaannya dapat diresapai dan menyentuh penerima. Maka apa yang diharapkan oleh ketua Program Studi Pendidikan Teologi, Pater. Oswaldus Bule, SVD tentang seminar tersebut berangsur-angsur terwujud. Dalam prilis yang diterima oleh penulis, Pater Os berharap dengan adanya seminar tersebut para pewarta dan umat beriman katolik di Manggarai sungguh-sungguh berakar dalam Sang Sabda, menjadi penghidup, pewarta, dan penyaksi Sabda.



Kepekaan pewarta untuk memahami konteks pewartaan sangat dibutuhkan. Pewartaan akan menjadi mudah bila pewarta berani masuk, mengenali dan menggali tantangan penerima dari segi sosial, budaya, politik, ekonomi dan ekologi. Pater. John M. Prior, SVD mengatakan Situasi budaya, ekonomi, politik dan ekologi adalah locus pewartaan. Oleh karena itu, agar pewartaan itu diterima dan diresapi, penting bagi seorang pewarta untuk mengenal konteks-kontes tersebut. Seorang perwarta harus berani berada dalam setiap konteks, mengenal konteks, menggali nilai dari semua situasi hidup yang dialami oleh setiap penerima, dan mendengarkan suara kebijaksaanaan hati. Karena itu penting bagi Gereja untuk terlibat dan hadir dalam kegiatan afirmatif dengan melibatkan kaum awam.

Ini yang disebut oleh Pater Peter C. Aman, OFM dalam materinya bahwa keterlibatan Gereja dalam kegiatan afirmatif agar Gereja tidak terkesan ekslusif; kegiatan-kegitan afirmatif itu dapat melalui kegiatan aksi sosial, pemberdayaan masyarakat serta membangun kebersamaan hidup, demi menyelamatkan diri dari kecemburuan, antipati dan penolakan.
Pewarta adalah pendengar dan pendengar adalah pewarta. Saat seseorang mewartakan (kerygma) Firman dia disebut pewarta. Melaksanakan dengan nyata apa yang telah di-Firmankan adalah buah dari kerelaan mendengar dalam kedalaman hati. Pendengar dapat mewartakan Firman apa yang telah dibaca dan didengar. Bahwa “kerajaan Allah menampakan diri kepada orang-orang dalam sabda,karya dan kehadiran Kristus”, sabda Tuhan ibarat benih yang ditaburkan di ladang (keterbukaan hati adalah ladang Firman) mereka yang menerima (mendengar-Nya) adalah menerima Kristus itu sendiri, kemudian benih itu bertunas dan berkembang dlaam kebijaksanaan hati, dan berbuah dalam kesaksian hidup (LG.5)

Pewartaan sebagai pengungkapan iman adalah konsekvensi bagi semua orang yang telah bersatu dalam Kristus melalui sakreman pembabtisan (I Kor 12:13). Rahmat pesektuan yang tersalir dari relasi Trinitas menberikan penekanan kepada pewarta bahwa tugas mewartakan sebagai tindakan dialog-profetis. Pewarta yang ampuh adalah mereka yang dengan rela hadir, menggali, meneliti dan memahami dinamika hidup penerima. Dialog-profetis pertama-tama terjadi dalam diri pewarta, melalui kemampuannya untuk mendengarkan dan memahami, kemampuan dan kesesuaian sikap dan tindakannya seturut Firman yang diwartakan. Inilah yang disebutkan oleh Pater. John M. Prior, SVD sebagai krediblitas seorang pewarta.

Pewarta (Gereja) tidak hanya aktif mewartakan Firman dalam tatanan dogma, tetapi hadir secara akatif dan nyata untuk mengetahui situasi umat (penerima). Hadir secara nyata dan aktif dalam menyuarakan keadailan, memperjungkan keutuhan ciptaan mulai dari skiap dan tindakan konkrit. Sebab manusia, alam dan segala isinya berada dalam persekutuan Ilahi. Karena itu semua orang yang percaya kepada Kristus sebagai simpul dari persektuan itu (pewarta dan penerima-penerima dan pewarta) tidak hanya pandai berkata-kata soal kebenaran, kasih dan cinta, tetapi berani melakukan semua itu dalam tindakan sehari-hari, sebagai tindakan nyata kita yang percaya kepada Kristus yang bangkit (bdk. 1 Yoh 3:18; 23).

Pewarta tidak akan menjadi orang asing bagi penerima bila setiap orang yang mewartkan berani menembus tirani-tirani pembantas antar pewarta dengan penerima, dan antara penerima dengan penerima. Kebranian dan panggilan hati untuk berdialog dengan bumi, antar budaya dan antar agama adalah hal mutlak untuk dilakukan oleh pewarta. Pewarta dapat menembusi batas-batas pemisah dengan bedialog dengan bumi. Bumi yang bersifat relasional memberikan titik klimaks untuk membangun kesadaran ekologis. Kebranian pewarta untuk masuk dalam persoalan ekologis pendengar dengan menggali, mendalami, dan menderngarkan rintihan alam dapat mengarahkan penerima Firman kepada Kristus, dalam Kristus titik kesempurnaan ciptaan terlaksana.

Keunikan dan atau keragaman budaya akan memperkaya refleksi kitab suci, bila setiap pewarta dan pendengar mempunyai keterbukaan, ketulusan dan kejernihan hati untuk saling menukar refleksi antar budaya. Disaat yang sama, pewarta dan pendengar Firman dapat saling memperkaya diri dengan nilai-nilai kekhasan penghayatan atar agama. Dengan demikian Firman tidak dipahami dalam bingkai sempit, atau terlampautradisionalistik dan dogma yang kaku, tetapi terbuka dan universal dengan melibatkan kemampuan dialog-profetis dengan bumi, antar budaya dan antar agama (John M. Prior).

Seorang pewarta benar-benar mengetahui konteks penerima bukan dari orang lain melainkan oleh dirinya sendiri. Pewarta dapat masuk dan mengetahui semua nilai-nilai dari tantangan yang dialami penerima Firman, bila saja seorang pewarta mangambil tanggungjawab. Hal ini merupakan hukum moral bagi pewarta, esensinya adalah pewarta menelaah bahan yang dikomunikasikan sesuai dengan situasi-situasi yang dihadapi oleh penerima, sebab satu model pewartaan dan materi pewartaan (misalnya kotbah dan ketekese) daya pengaruhnya (serapnya) sangat berbeda sesuai dengan situasi umat (bdk. IM.4). Singkatnya, pewarta tidak dapat menggunakan kotbah atau materi katekese yang sama dalam dalam setiap tahun, baik ditempat yang sama maupun ditempat yang berbeda.

Pewarta adalah mewartakan Kristus. Kepentingan yang paling utama adalah kepentingan Kristus, bukan kepentingan pribadi pewarta. Oleh karena itu, Pater Jhon M. Prior dalam meterinya mengemukakan kompetensi-kompetensi yang dimiliki oleh seorang pewarta (di samping seni mendengarkan dan krediblitas pewarta) yakni, pertama kompetensi teknis, kompetensi ini dimiliki oleh pewarta agar mengetahui dan mampu menerapkan teknologi pada pewartaan Firman secara dialogal-profetis. Kedua. Kompentensi Kritis. Kompetensi ini dimiki oleh pewarta agar mengetahui kapan dan bagaimana melakukan diolog. Ketiga. Komptensi Kreatif, dengan kompetensi ini pewarta akan menerima dan mengenali sasaran pewartaan dengan seluruh konteks dan kebutuhan penerima Firman.

Keempat. Kompetensi etis, oleh komptensi ini mengarahkan pewarta untuk tidak mengabaikan pendengar, khususnya agama, budaya, gender, dan martabat manusia. Kelima. Kompetensi budaya, dengan kempetensi ini pewarta mampu mengenali, memahami dan menghargai keragaman budaya pendengar. Keenam. Kompetensi teologis, pewarta tidak hanya berandalkan kemampuan akademis tetapi juga pemahaman spiritual yang mendalam. Ketujuh, Kompetensi Profesional, pewarta dikayakan dengan kemampuan praktis melauli pelatihan, dan kompetensi akademik melalui studi dan penelitian.

Disamping komptensi-kompentensi di atas, kemauan dan panggilan untuk mendengarkan dengan tulus suara penerima dengan seluruh dinamikannya adalah mewujudkan Gereja sebagai Gembala yang berbau domba. “Para Gembala ditantang mengembalakan domba-domba di padang rumput Indonesia yang makin menantang sambil memberikan kesaksian spirit dari Sang Gembala Agung yang setia dan tidak meninggalkan domba-domba-Nya. Para gembala berbau domba adalah tuntutan nyata dalam merajut kesatuan dan hadir dalam kehidupan umat dan mengenal padang gembala yang mungkin semakin gersang” Kata Pater Dr. Peter C. Aman OFM.

Hal yang paling penting dan urgen adalah Gereja tidak hanya berkutat pada pemberian makna naratif tentang dogma, tetapi menjadi kesadaran dan upaya bersama untuk hadir dalam peliknya situasi umat (penerima Firman). Pewarta (Gereja) harus tampil di mimbar realitas untuk mengeriktisi perubahan-perubahan yang menyampingkan martabat manusia, menyuarakan keadilan, melindungi ciptaan dan mengkaderkan tokoh awam agar bisa tampil di publik dengan kekayaan spritualitas demi menyuarakan kepentingan bersma, dan kebebasan mutlak.

Gembala berbau domba menjadi sangat penting berhadapan dengan situasi masyarakat Indonesia saat ini, yakni kekerasan yang semakin menjalar, intolensi yang semakin meluas, politisasi agama, fanatisme dan konflik-konflik sosial atas nama SARA dan diskriminasi. Situasi ini menjadi tanggungjawab semua orang untuk keluar peliknya pesoalan-persoalan tersebut dengan mensosialisaskan nilai-nilai pancasila secara efektif serta memaknai isntrumen yang buttom up sekaligus populis. Tulis Pater Peter C. Aman, OFM dalam makalahnya.

Usaha-usuha itu mendapat kesempatan yang strategis, karena nilai-nilai Pancasila sejalan dengan nilai Kristiani yang dapat diangkat dalam pastoral dan refleksi telogis Gereja atau teologi Pancasila (ibid). Filsafat pancasila dan refleksi teologis sebagai rahim munculya teologi pancasila mengugah kesadaran iman dan kepekaan sebagi warga negara yang aktif dalam mewujudkan tugas dan tanggungjawab sosial awam katolik sebagai terang dan garam. Alhasil kekuatan Gereja tidak hanya terletak pada dogma, tetapi pada pengakuan iman yang dinyatakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pewarta dengan segala kompetensi dan kekayaan refleksinya serta kesaksianya adalah pewarta yang berbau Pengembala. Segala tugas dan kesaksiannya mengarah kepada kemulian Allah, bukan membesarkan nama pribadi melainkan Kristus. Pewarta (Gereja) menjalankan kepentingan Kristus, agar Firman-Nya benar menjadi pelita bagi semua orang dan terang bagi sluruh uma-Nya. Oleh karena sakreman pembabtisan, kita semua (pewarta dan penerima) adalah Umat Allah dan sekaligus anggota masyarakat dan warga negara, kesaksian iman dalam kata dan berbagai tindakan (kehidupan) sosial merupakan ikatan antar sesama makhluk ciptaan (AG.21). Hal inilah akan mewujudkan Gerja lokal keuskupan Ruteng yang solid, mandiri dan solider (SMS). Sekaligus menjadikan Umat Allah Keuskupan Ruteng yang 100% orang Manggarai dan 100% warga negara Indonesia yang berjalan atas dasar asas Negara.





Perwata (an) Menunggangi Kepentingan Kristus Perwata (an) Menunggangi Kepentingan Kristus Reviewed by www.surya.com on Januari 30, 2018 Rating: 5

4 komentar:

  1. […] Baca juga: Perwata (an) Menunggangi Kepentingan Kristus […]

    BalasHapus
  2. […] Klik: Perwata (an) Menunggangi Kepentingan KristusPerwata (an) Menunggangi Kepentingan KristusPerwata (an) Menunggangi Kepentingan Kristus […]

    BalasHapus
  3. […] Baca juga: Perwata (an) Menunggangi Kepentingan Kristus […]

    BalasHapus

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.