LETANGMEDIA

ALYA PEREMPUAN SENJA

ALYA PEREMPUAN SENJA

[caption id="attachment_725" width="255"]images-1.jpg ILUSTRASI:https://assets-a1.kompasiana.com[/caption]

Oleh: Alghonzaga*



Di ujung sebuah jembatan kayu tengah terjadi sebuah kisah romantis sepasang merpati putih. Si jantan merentangkan sayap kokoh dan memeluk lembut pada punggung sang betina. Romantika alam yang menggebu dalam lukisan senja. “Kekasihku, duduklah manis di sampingku, sampai senja ini berlalu” “Aku suka ketika kamu duduk manis di samping kananku” Lelaki itu tetap diam tanpa membalas lantas apa alasan dari gadisnya. Toh gadis itu suka mengatakan alasannya sendiri. “Karena dari sisi ini aku bisa membayangkan dengan jelas ketika suatu saat nanti engkau tidak menemaniku menatap senja dan aku bisa melihat jelas lengkungan palung pada pipi lesungmu”. Lelaki itu menyentuh ujung hidung sang gadis, “Lalu dari sisi ini aku bisa melihat hidungmu sedikit mancung”. Walaupun dalam hati ia sebenarnya mengatakan, “Ohh Alyaku, betapa rindunya aku satu jam lagi, karena esok aku tidak berada di sampingmu menatap senja seperti ini”. Ohh Alya, inikah senja yang engkau persembahkan, cahaya merah kekuningan yang turun pelan-pelan mencumbu lembut hamparan samudera luas, memantulkan cahaya keemasan lalu perlahan memerah. Semerah rindu yang menggebu. Wanita itu hanya diam dalam sandaran hangat bahu sang kekasih.

Teduh dan menyejukan. Mereka hanya menikmati bahasa hati yang hanya mereka berdua yang memahaminya. Dekapan rindu yang memerah. Semerah cahaya senja. “Kekasihku, lihatlah sepasang merpati itu! Mereka adalah sepasang kekasih, baru tiga hari yang lalu sang jantan melamar merpati berbulu putih secantik salju itu, lalu mereka berjanji”. “Apa janji mereka?” sahut sang lelaki. “Mereka berjanji untuk selalu bertemu di ujung jembatan ini setiap senja. Setelah mereka menatap senja, mereka akan terbang berpencar. Sang jantan ke arah utara dan sang betina ke arah selatan, hingga sampai keesokan senja, mereka akan kembali di tempat ini. Setia menatap senja. Berdua”. Suasana kembali sunyi. Ada tangisan sendu yang mulai berdendang dari kediaman hati yang paling dalam. Detik menuju perpisahan. Terpisah karena pilihan tersulit dari yang terbaik. Dosa masa lalu. Dua tahun yang lalu, sepasang anak manusia tersesat dalam gejolak darah muda. Darah para remaja polos mendidih dalam dinginnya angin malam. “Sayang, aku sangat mencintaimu, buktikanlah kepadaku betap engkau sangat mencintaiku juga”, suara lelaki itu bernada merayu. “Sayangku, apapun yang engkau inginkan jika itu dapat membuktikan betapa besar cintaku kepadamu, aku serahkan semuanya kepadamu”, jawab sang gadis pasrah. Malam itu terjadilah sesuatu yang tidak sewajarnya. Entah luapan rasa ingin tahu manusia ataukah setan apa yang nyasar dan merasuk pikiran kedua anak manusia, kini terjadilah. Tiada waktu, tiada batasan, tiada hari esok.

Baca juga: Sex-Ekologi

Hanya berdua dan menikmati indahnya taman dan wangi bunga yang bermekaran. Itulah yang mereka pikirkan. Beberapa bulan kemudian, terdengar berita bahwa anak gadis sedang mengandung. Terpaksa mereka dikeluarkan dari sekolah. Secepat petir berita itu menjadi trendding topik, Mereka menjadi selebritis di sekolah, di kampung bahkan sampai ke kampung tetangga. Selebritis yang bernasip sedih dan tragis. Kejadian beberapa menit malam itu yang menurut mereka bukti cinta dan kebahagiaan, kini menjadi sebuah neraka penyesalan yang berkepanjangan. Bara api sindiran, cemoohan bahkan makian menjadi teman hari-hari. Tekanan batin, histeris yang terpendam menguras kebahagiaan hidup. Itulah penyesalan. “Hidup enggan, mati tak mau”, coretan frustasi anak-anak nakal pada tembok belakang sekolah, entah apa tujuan mereka menulisnya, yang pasti mereka menamakan diri “Anak-anak gaul”.

Baca Jug: CINTA: Cerita Indah

Di sekolah mereka disebut murid. Di rumah mereka disebut anak. Di masyarakat mereka disebut generasi penerus bangsa. Siapa menyalahkan siapa? Siapa menuduh siapa? Ahh entalah. Harapan orang tua demi masa depan anak-anak seakan mati suri. Bungkam dalam beribu pertanyaan yang berkecamuk. Nasi sudah menjadi bubur, apa boleh buat. Anak tak berdosa sedang dalam kandungan. Demi menjaga aib bagi keluarga dan masa depan mereka, akhirnya mereka dinikahkan secara resmi dan sah sebagai suami istri. Tahun pertama pernikahan mereka penuh dengan kesedihan dan berantakan. Pertengkaran adalah hal biasa. Pengetahuan hidup berkeluarga seakan dipaksakan untuk dipelajari, umur yang masih labil dan belum matang secara psikologis adalah pokok permasalahan rumah tangga mereka. Apalagi mereka masih numpang tinggal di rumah orang tua. Tahun berganti tahun usia pernikahan mereka semakin bertambah. Hidup berkeluarga sudah mereka embani. Entah bagaimanapun, seorang ayah yang hanya tamatan ijazah SMP, masih sangat sulit menafkahi keluarga kecil mereka. Mereka hanya mempunyai sebidang sawah warisan yang diberikan orang tua. Hasil panen bahkan tidak cukup untuk makan mengisi perut dalam waktu setahun. “Bro, ada kopi?, tanya seorang sahabat. “Ehh Tom, ada Bro’, jawabnya dengan sapaan akrab mereka sewaktu di sekolah menengah atas dulu. Sahabatnya itu putus sekolah sewaktu kenaikan kelas dua. Dia lebih memilih menjadi kondektur, katanya tiap hari dapat uang. Walaupun akhirnya sebulan kemudian dia dipecat, karena ketidakjujurannya dan mendapat gelar perdanannya, pengangur paling muda di kampung. “Pulang darimana Bro? tanya lelaki itu. “Biasa Ben”, jawab Tom sambil menunjukan hewan hasil buruannya. Begitulah kegiatannya setiap hari. Memangsa dan mengancam habitat alam. Sore itu gerimis di akhir musim hujan. Sambil menyeruput kopi hitam, kedua sahabat itu masih tetap akrab di bawa atap alang-alang. “Bro, mungkin ini adalah sore terakhir aku minum kopi denganmu, karena besok aku akan pergi merantau”, suaranya terdengar seperti salam perpisahan. “Ahh, yang benar saja Tom, memangnya kamu mau pergi merantau kemana dengan bermodalkan ijazah SMP?”, tanya Ben basa-basi. “Tiga hari yang lalu aku mendapat telfon dari pamanku yang di Malaysia itu, katanya, ditempat ia bekerja sedang membutuhkan pekerja untuk diperkerjakan di kebun kelapa sawit, upahnya lumayan bro, di atas gaji guru komite. Tidak ada persyaratan apa-apa, ongkos perjalanan mereka yang tanggung, ”. Lelaki itu hanya diam mendengar penjelasan sahabatnya.

Baca Juga Kampung Mati

Ada sesuatu yang mengajak hatinya. “Kita pulang sajalah, hari sudah sore”, jawab lelaki itu. Sudah satu bulan lelaki itu memikirkan soal ajakan sahabatnya yang kini sudah berada di negeri orang. Lelaki itu mencoba memberi pengertian kepada kekasih tercinta. “Kekasihku, apa kamu tega meninggalkan aku dengan anak kita di sini sendirian”, suara lirih dan tetesan air mata wanita itu memecah keheningan malam. “Kekasihku, aku tidak meninggalkan kalian berdua, aku sangat mencintai dan menyayangi kalian berdua, aku bertanggung jawab untuk menghapus semua penderitaan kita selama ini, ini adalah satu-satunya jalan terbaik. Aku janji, aku akan kembali”, jawab lelaki itu sambil mengusap air mata pada pipi kekasihnya. Walaupun dengan perasaan berat hati, akhirnya pilihan tersulit dari yang terbaik telah diputuskan. Pergi merantau. Di ujung jembatan dermaga itu telah tertulis sebuah kerinduan yang amat dalam, sedalam dasar samudra. Hanya ada kecupan manis pada kening ingatan dan juga lambaiyan senja. Terpisah antara dermaga yang satu dengan dermaga yang lain. Hanya ada do`a dan harapan. Terlukis pada senja terakhir. Menunggu..

[caption id="attachment_718" width="800"]gonz ALGONZAGA[/caption]

Alghonzaga: Tingal di Ruteng Slide1IMG_20171125_093547.jpg
ALYA PEREMPUAN SENJA ALYA PEREMPUAN SENJA Reviewed by www.surya.com on November 27, 2017 Rating: 5

5 komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.