LETANGMEDIA

Milenial Tidak Harus Melupakan Budaya: Torok Lodok Dan Kenyataan RelasiOrang Manggarai


Pembaca tulisan ini adalah para pemula dan generasi milenial yang sedang binggun dan ingin melupakan budaya sebagai indentitas, seperti saya yang sedang bingun menentukan cara dalam mengungkapkan nilai budaya, terutama torok. Sementara generasi milenial yang berpegang teguh pada budaya dan komitmen untuk mewariskan dan mempertahankannya serta mereka yang sangat paham dengan nilai-nilai budaya Manggarai, apalagi soal torok dan goet, mohon kesediaanya untuk tidak membacanya, atau bila ingin membacanya dan memeberi komentar untuk mencerahkan dan membah pengetahuan kami yang sedang bingun adalah sebuah kehormatan  yang boleh kami terima. Karena itu, terima kasih, kami sampaikan




Ilustrasi: (Sumber: www.kabar-banten.com)




Milenial Tidak Harus Melupakan Budaya: Torok Lodok Dan Kenyataan Relasi Orang Manggarai


Tulisan ini adalah refeleksi sederhana sekaligus sebagai catatan awal untuk menemukan makna torok orang Manggarai. Kegiatan ini menjadi penting, karena saat ini, kita tidak lagi melihat upacara-upacara yang berlangsung di lodok saat membuka lingko weru (membuka kebun baru).  Berdasarkan kenyataan itu, tentu ada beberapa pertanyaan yang mungkin sama kita lontarkan (1) Kalau memang tidak ada lagi lodok, apakah masih perlu kita memahami torok dan nila-nilainya? Atau masih adakah cara lain untuk mewariskan nilai-nilai itu? Atau apakah yang perlu kita dalami dan pahami dari setiap nilai-nilai budaya itu? Atau bagaiamana kita mempertahan dan menjelaskan nilai-nilai yang terungkap dalam torok dan goet orang Manggarai sehingga tetap actual di kalangan milenial.  

Mengenai pertanyaan ini, penulis berusaha menemukan beberapa jawaban, yang mungkin sama dengan pembaca (maaf kalau beda, namanya juga pendapata..kwkwkwk), yaitu

  1. Buka kebun baru, memang jarang sekali saat ini, akan tetapi nafas atau roh dari lingko weru, lodok,dan toroknya selalu hidup dan dihidupkan dalam setiap relasi.
  2. Relasi dan atau intraksi  dengan prinsip muku ca pu’u nèka wolèng curup (pisang
    serumpun jangan berbeda pendapat, seia sekata)-teu ca ambo nèka wolèng lako(tebu serumpun jangan berbeda langkah),nai ca anggit tuka ca léléng, sehianga terwujudnyakomunal yang solid seperti kimpur neho kiwung, cirang neho rimang, neho rimang rana, pateng wa wae worok eta golo, adalah salah satu usaha menkontekstualisasikan pesan-pesan budaya.
  3. Bertingkah laku yang baik, bertutur yang baik (pio-piowale io), bercita-cita hidup dalam persekutuan yang solid dan solider dan turut memperjuangkaanya, bersahaja, saling mendukung usaha baik dan positif, bekerja keras adalah roh yang selalu ada dan dihidupkan dalam seluruh kenyatan hidup generasi milenial.

BACA JUGA:
  1. Jatung Pisang dan semangat Obsequium
  2. GUA PONGKOR POLO: REKOMENDASI BAGI ANDA YANG SUKA TRAVELING

Budaya dan manusia tidak dapat dilepaspisahkan. Intraksi adalah unsur pengikat dinataranya. Intraksi
manusia belangsung dalam tiga hal, yakni yaitu relasi dengan sesama (makhluk sosial/komunio sosial), relasi dengan alam (makhluk kosmis/komunio kosmis/ekologis) dan relasi dengan Tuhan (makhluk religius/komunio religius). Relasi ini terlaksana dalam masyarakat lokal dan masyarakat universal (Sutam,
2014:1)


Orang Manggarai sebagai masyarakat lokal yang terarah pada masyarakat universal telah membentuk dan menjalani relasi segitiga tersebut. Sebagai masyarakat universal, orang Manggarai adalah akar rumput dalam membentuk komunio yang harmonis demi terciptanya sikap solid dan kesejahteraan dalam kanca dunia. Sedangkan dalam  posisinya sebagai masyarakat lokal, orang Manggaraiberpijak dalam budaya. Budaya adalah identitas orang Manggarai sebagai makhluk yang berkreasi, berwawasan (berpikir), bermartabat dan titik awal  dalam membangun komunio sosial dan komunio ekologis  yang harmonis sertalocus dalam mewujudkan nilai-nilai religius. Karena itu dapat  dikatakan bahwa, budaya Manggarai dengan segala kekayaannya adalah hasil cipta,  karsa dan karya orang Manggarai itu sendiri. Salah satu hasil cipta dan karya  yang penuh makna dalam kebudayaan Manggarai adalah go’ét  (sanjak, ungkapan) dan torok (Doa orang Manggarai yang ditujukan kepada Tuhan)
Relasi-relasi tersebut, terungkap dalam seluruh ungkapan adat Manggarai. Sebagai salah satu contoh, penulis mangajak pembaca, untuk sama-sama melihat ketiga relasi orang Manggarai dalam 2 contoh torok di bawah ini.







Dari kedua torok di atas, penulis mengajak pembaca budiman untuk melihat dan menginterprestasikan relasi orang Manggarai dan struktur torok orang Manggarai.



Relasi Orang Manggarai

Pertama: Relasi Religius: Dénge Dia Lité Morin agu Ngaran..Dalam setiap torok orang Manggarai, selelau diawali dengan frasa “Dénge Dia Lité Morin agu Ngaran”. Kalimat ini menunjukkan dan merpertegas relasi orang Manggarai sebagai orang beriman, bahwa Tuhan adalah sumber segalanya dan tujuan seluruhnya. Selaian itu, kaliman ini mengungkapkan relasi religious orang Manggarai.


Kedua: Relasi sosial: Orang Manggarai adalah makhluk sosial yang selalu berintraksi dengan orang.  Orang Manggarai tidak hanya menghormati sesame yang hidup, tetapi juga para leluhur. Hal itu teruangkap dalam kalimat: nggitu kolé méu éma agu méu énde ata poli  pa’ang ble. Sementara intraksi social dengan sesame yang hidup sebagai makluk social terungkan dalamkalimat/kaliamat “dami/ami”


Ketiag; Relasi Ekologis: Ruang hidup orang Manggarai dan manusia seluruhnya tidak terlepas dari lingkungan alam. Hubungan/intraksi manusia dengan alam, disebut relasi ekalogis. Semua torok orang Manggarai belangsung di alam, dan dengan menggunakan bahan-bahan yang tumbuh dibumi.


Struktur Torok

Memang belum ada setruktur baku t orok, namun yang perlu kita dapatkan adalah, hal yang terungkap dalam torok adalah sebagai berikut:
  1. Mengakui Tuhan  seabagai sumber kehidupan: Dénge Dia Lité Morin agu Ngaran
  2. Relasi harmonis: Torok selalau menjaga keharmonisan relasi baik dengan sesama yang masih hidup maupun dengan para lelulur
  3. Tujuan: Dalam setiap torok selalu tersurat  apa dan tentang apa.
  4. Harapan/doa: Torok adalah doa  tematis orang Manggarai. Sehingga  kalimat dalam torok selalu tersurat peromohonan kepada Tuhan.
Torok mempunyai makna yang sangat mendalam, bila kita menyelaminya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya, bila setiap orang Manggarai ikut mewariskannya kepada genarasi selanjutnya.

Memahami budaya dan atau ikut mencarai nilai budaya, bukanlah sesuatu yang "kolot" atau ketinggalan jaman, sebaliknya adalah sebuah gerakan batin untuk memahani kekhasan dan identitas, dan bukan tidak mungking sebagai salah satu landasan berpikir.

Berpijak pada budaya lokal, bertindak global. adalah kalimat selalu kita dengar. Kalimat ini sangat untuk dikalangan generasi mileniel. (Feliks Hatam)



Milenial Tidak Harus Melupakan Budaya: Torok Lodok Dan Kenyataan RelasiOrang Manggarai Milenial Tidak Harus Melupakan Budaya: Torok Lodok Dan Kenyataan RelasiOrang Manggarai Reviewed by www.surya.com on Juni 14, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.