LETANGMEDIA

Mungkin Saja Aku Tak Pantas. Tidak !



Yah, aku cemas, berkacamuk dalam ragu, berdebat dengan sejuta kenyataan.Aku yang berasal dari kaki gunung, mengalaskan tikar kumuh untuk membaringkan tubuh. Aku yang nyatanya dibesarkan oleh jutaan rasa kasih orang tua, yang minus materi, yang mengenakan sehelai baju. digunakan penuh waspada, agar tidak termakan panas.Aku yang dibesarkan oleh kedua orang tua yang tidak mengalaskan kaki, bermandikan keringat. Itu adalah kenyataan rumahku, dan lebaran hidupku. Aku yang dilahirkan diatas tikar kumuh, dibesarkan dari kekurangan, akau yang asing dari asupan empat sehat dan lima sempurna, sebagaimana orang-orang yang berkecukupan. Aku yang sangat bangga, bila sebulan mendapatkan kesempatan makan ikan atau telur saja.

[







Ilustrasi (unduh dari: Nu.online)
Ilustrasi (unduh dari: Nu.online)[/caption]


Aku tidak sedang membenci kenyataanku, apalagi menyesal tentang kenyataanku. Aku sedang mengingatkan diri akan masa kecilku, dan hati salju keluarga. Aku sedang memberitahukan kenyataan diriku, agar kamu tahu, bahwa aku tidak dibesarkan diatas kasur empuk, tidak diebesarkan oleh asupan empat sehat dan lima sempurna di meja mekan. Aku dibesarkan oleh kasih dan putihnya ketulusan orang tua. Aku dibesarkan berkat cangkul dan ladang yang menguras dan mengurus fisik dua sosok, kulit mengeriput yang dulungya kencang dan beruban diantara ladang yang terus ditantang oleh alam yang tidak menentu. Mereka adalah orang tuaku.




Aku dibesarkan oleh keadaan alam yang tidak menentu, yang menyuruh kedua sosok itu bangun saat subuh dan pulang melewati petang, sambil menentengkan cangkul. Bukan buku, atau bolpoin. Bukan beralas kaki, dan bertopi, bukan naik motor, atau mobil, atau sepeda sekalipun. Disaat yang sama, aku digendong, walau tubuh mereka lemah termakan trik. Namun kasih dan ketulusan mereka mengalahkan mentari dan lebatnya hujan.
Bila kuingat semua itu, aku benci dengan diriku sendiri. Hujan gerimis saja, aku pasrah beraktifitas, jalan kaki lebih dari 50 meter saja aku malu dan capeh, kurang uang belanja saja aku malas belajar, lambat kirim uang kos dan kuliah saja aku ngamuk. Aku benci. Sementara disaat yang sama, orang tuaku, mencakul dikala trik dan hujan, bangun subuh pulang petang, walau tubuh lemah, makan hanya dua kali sehari, rela hanya makan nasi tanpa lauk di meja makan. Semua itu alami, demi sang buah hati yang dipercayakan oleh Yang Esa hadir diantara meraka. Demi memenuhi kebutuhan dan permintaan sang bua hati.




Aku sadar, tidak adanya aku menangis meningat jasa mereka, bila aku tidak bangun. Tidak adanya aku tertegun menetaskan air mata membaca kisah kecilku, bila aku tidak sing-singkan lengan. Aku terus melangkah, berjuang tanpa ujung.
Itu adalah aku, adalah kenyataanku. Aku yang hidup oleh kasih kedua orang tuaku. Aku yang tidak dibelajarkan untuk meminta belaskasihan orang lain. Aku yang diajarkan berjuang. Aku yang belajar menerima apa adanya, aku belajar mencintai apa adanya, bukan ada apanya dalam relasi.
Itulah aku. Bila ini soal cinta. Perlu kamu tahu, inilah aku. Inilah keluargaku. Perlu kamu tahu, ketika saling mencintai, tanggungjawabku adalah membahagiakanmu. Aku tahu cinta saja tidak tidak cukup, kata bahagia saja tidak mengeyangkan. Namun, cinta dan kebahagian adalah pupuk yang menyuburkan untuk terus bertumbuh mencapai kesejehteraan. Bahaigia itu adalah saling menerima, memahami satu sama lain, bersyukur tetang apa yang dimiliki. Bahagia itu karena apa yang ada. Bahagia itu ketika bersyukur apa yang ada. Bersyukur bukan karena bahagia.




Bila ini saol berlomba, aku tak gensi atau malu dengan kenyataan. Karena aku tahu, semua manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk berlomba. Soal kopentesi, semua makhluk yang namanya manusia, sama-sama memilki posisi untuk menunjukkan eksistensinya.
Keraguan soal kenyataan rumahku, boleh saja. Namun sekali-kali aku tidak ragu. Sebab bagiku, kekuatan yang paling hakiki adalah diriku.




Aku lahir dikaki gunung. Aku dilahirkan untuk berjuang, untuk mendaki menuju bukit, hingga bukit berikutnya. Keadaan rumahkan, bukan halangan. Itu adalah kesempatan. Aku dibesarkan dibawah pelita, bukan halangan, namun peluang untuk terus melangkah.
Keadaan rumahku, sekali-kali tidak menghalangiku.
Wajah ramah, senyum tulus kebahagian, dari kedua sosok yang hari-harinya memegang cangkul, melangkang tak beralas kaki, mengalaskan sehelai tikar saat istrahat malam dan siang adalah semangatku untuk terus berlomba.(Feliks Hatam)


Mungkin Saja Aku Tak Pantas. Tidak ! Mungkin Saja Aku Tak Pantas. Tidak ! Reviewed by www.surya.com on Februari 11, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar:

VIEW

Diberdayakan oleh Blogger.